27/10/08

lihatlah

Mungkinkah orang tua membenci anak kandungnya sendiri? Tidak, kata guruku di sekolah. Ibu guru berkata, orang tua tidak mungkin membenci anak kandungnya sendiri. Jika mereka marah, semata-mata karena rasa sayang mereka. Lihatlah Bu Guru, di televisi. Setiap siang, sambil makan siang, tontonlah berita agar kau tau bahwa ada orang tua yang tega membunuh anaknya, memperkosa anaknya, menyiksa anaknya, membuang anaknya, dan lain-lain. Tengoklah itu di sela-sela jam makan siangmu, Bu Guru.

Apabila bisa, Bu Guru, aku juga akan mengundangmu ke rumahku. Akan tetapi, kau harus menjadi invisible woman dahulu. Wanita tak terlihat. Dengan begitu, kehadiranmu tidak akan disadari kedua orang tuaku. Maka, mereka akan bersikap seperti biasa, seperti jika tidak ada tamu. Mereka tidak membunuhku, tentu saja. Mereka juga tidak memperkosaku dan tidak membuangku. Namun, mereka menyiksaku, sadar ataupun tidak.

Bu Guru, aku bisa membedakan bagaimana kemarahan karena sayang dan bagaimana kemarahan karena benci. Aku melihatnya di film-film yang cukup bermutu, bagaimana ayah atau ibu yang marah kepada anaknya karena kekecewaan yang diakibatkan kepedulian dan rasa sayang kepada anak itu. Lihatlah raut wajah mereka yang menyimpan duka dan kecewa di balik amarah. Di mata mereka ada kasih dan luka ketika mereka memukuli anak mereka.

Hal itu juga kudapati pada Kakek dan Nenek. Mereka begitu baik padaku. Mereka begitu peduli dan sayang padaku, sehingga itu juga reaksi mereka ketika aku berbuat nakal. Setelah memarahi dan memukuliku, aku selalu mendapati Nenek menangis menyesal. Setelahnya pun, mereka baik kembali kepadaku.

Bandingkanlah dengan orang tuaku, Bu Guru. Lihatlah kilat amarah di mata mereka ketika mereka menghajarku. Lihatlah raut mereka yang sangar dan beringas. Tuduhan-tuduhan dan fitnah berbalut caci-maki dalam kata-kata mereka. Mereka menanyakan penjelasan kepadaku seperti polisi mengintrogasi maling. Mereka memarahiku seperti para senior yang membenci junior di sekolah. Mereka memukuliku seperti sedang membunuh hama. Setelah itu, tidak ada yang menangis selain aku. Mereka akan pergi meninggalkan rumah dengan penuh amarah. Di luar sana, mereka bersenang-senang berdua. Kesenangan mereka masih mereka bawa pulang, paling tidak sebelum mereka melihatku.

Setelah bertemu denganku, wajah mereka kembali kusut dan penuh kebencian lagi. Mereka akan mendiamkanku berminggu-minggu, bahkan sampai kami sama-sama lupa apa kesalahanku. Mereka tidak memberiku uang jajan. Membiarkanku kelaparan sampai sakit maag. Itulah mengapa aku sering meminta obat di UKS sekolah. Teman-teman baikku yang merasa kasihan akan mentraktirku makan secara bergantian setiap hari. Mereka begitu baik dan pengertian.

Di saat-saat tertentu, Bu Guru, aku merasa aku bukan anak mereka. Maksudku, bukan anak kandung mereka. Bukan hasil pembuahan Ayah dan tidak lahir dari rahim Ibu. Namun, jika demikian, bagaimana mungkin wajahku begitu mirip dengan mereka? Juga banyak kesamaan fisik antara aku dan mereka? Nenek pun sering meyakinkanku bahwa aku sungguh anak kandung mereka. Ia bersaksi bahwa ia menyaksikan proses kelahiranku. Ia yakin bahwa aku pun bukan anak yang tertukar di rumah sakit karena bentuk dan warnaku begitu khas, sehingga ia pasti mengenaliku. Iya, waktu baru lahir aku kecil, aneh, dan kuning. Aku melihat fotoku dan tidak percaya dulu aku memang begitu. Nenek menasihatiku agar aku tidak berpikir macam-macam.

Lalu, di saat aku benar-benar membutuhkan konfirmasi dari orang tuaku, mereka malah membantah. Mereka marah-marah (mereka SELALU punya alasan untuk marah) dan memaki-makiku, anak setan, anjing, sapi, tuyul, bangsat! Jika aku memang anak setan, anjing, sapi, tuyul, atau bangsat, tentu aku bukanlah anak mereka yang keduanya adalah manusia murni asli.

Maka, aku mengerti, mereka orang tua kandungku yang tidak mau mengakuiku sebagai anak mereka. Aku hanya pembeban hidup mereka. Aku berjanji, secepat mungkin aku akan menjadi produktif. Menghasilkan uang sendiri, lalu pergi dari mereka. Ketika aku sudah sukses nanti, aku akan membayar apa yang telah kuambil dari mereka. Aku katakan itu kepada mereka. Kau tahu apa reaksi mereka, Bu Guru?

Aku diteriaki ANAK DURHAKA! Anak haram jadah! Anak sialan! Lagi-lagi, itu berarti aku bukan anak mereka. Tidak tahu diuntung! Tentu saja mereka bukan sekedar berteriak-teriak. Mereka juga memukuliku dengan gagang sapu, bangku rotan, apapun yang keras dan bisa mereka angkat untuk mereka banting. Tak lupa, menghantamkan gelas beling ke wajahku. Aku yakin, kau tidak mau lihat hasilnya. Mengerikan dan menyakitkan.

Sudahkah kau mengerti, Bu Guru? Percayakah kau sekarang, bahwa orang tua bisa saja membenci anak kandung mereka sendiri?

19/10/08

terlambat

Kau tahu guru Bina Pribadi? Atau Bina Kepribadian? Guru BK atau guru BP? Di sekolah-sekolah berjenjang Menengah Pertama dan Menengah ke Atas (jadi mau ke tengah atau ke atas nih?), mereka bercokol sebagai wadah penampung masalah murid-murid, spons penyerap air mata siswi-siswi curhat, dan –diharapkan- menjadi pemberi solusi bagi siswa-siswi yang merasa tidak sanggup mencari solusi sendiri.

Belakangan ini, aku bermasalah dengan seorang guru BP (aku lebih senang menyebutnya BP daripada BK). Ini terjadi karena saya sering sekali tidak tepat waktu hadir di sekolah. Terlambat. Begitulah.

Ketika kebetulan kami bertemu di kantin sekolah pada saat jam istirahat, ia langsung menghampiriku (yang bahkan tidak tahu ia guru apa). Saat itu, aku sedang makan sendirian di salah satu meja-sepaket-bangku kantin (karena aku berkeras mau makan di kantin, sementara teman-temanku ingin makan di kelas). Ia begitu saja duduk di depanku dan memulai ritual makan siangnya.

Percakapan di bawah ini dilakukan sambil makan, sehingga kata-kata di bawah ini terucap dengan tidak jelas dan terkadang terjadi hal-hal menjijikan (seperti makanan yang melompat keluar dari mulut).

“Halo, Rei!”

“Ya.”

“Apa kabar?”

“Bae.”

“Emm... Tadi kamu telat lagi?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Pak...”

“Entar aja yah ceritanya.”

“Kenapa?”

“Lagi makan neh.”

“Oh, iya, iya. Maaf,” kata si guru BP sambil salah tingkah.

Selesai istirahat, aku masuk ke kelas dan menceritakan “insiden kadatangan guru BP” itu kepada teman-temanku, sehingga mereka semua cekikikan.

.

Sepulang sekolah, aku membaca buku di perpustakaan. Ketika aku sedang asik membaca, tiba-tiba saja si guru BP telah duduk di depanku dan menyapaku.

“Reini.”

“Ya?”

“Kalo sekarang, udah bisa cerita?”

“Cerita apa?”

“Yah, kenapa kamu telat?”

Sejenak, aku teringat masa SMP, ketika aku begitu sering dipanggil guru BP untuk konseling. Dari masalah keterlambatan (mereka menyebutkan “kedisiplinan”), sampai masalah keluarga. Ada saja masalah yang menurut mereka perlu dikonselingkan. Saat itu, ketika aku sedang tidak ingin berbicara dengan si guru BP, aku akan memperdengarkan kepadanya apa yang ingin ia dengarkan supaya aku bisa cepat-cepat terbebas darinya. Namun, jika aku sedang bosan belajar, aku akan mengarang-ngarang masalah dan membuatnya bingung. Hahaha!

Saat ini, aku sedang ingin membaca buku, tetapi ada sedikit kejahilan menggerogoti nafsuku.

“Ooh, tadi pagi, Pak?”

“Iya.”

“Jadi gini, saya tuh kemaren udah nyalain alarm. Eh, ternyata hape saya eror! Alarmnya gak nyala deh! Saya gak kebangun deh! Telat deh!”

“Emangnya gak ada pembantu yang bangunin kamu?”

“Belum pulang mudik.”

“Papa, Mama, ato sodara kamu?”

“Biasanya mereka baru bangun setelah saya berangkat.”

Ia tampak berpikir sejenak. Selayaknya kebanyakan guru BP, berusaha memberi solusi (meskipun aku tidak butuh solusi darinya). Tak lama, ia menyerah.

“Terus, kemarin? Kamu telat kenapa?”

“Pagi-pagi, saya sembelit, Pak. Jadi saya kelamaan di kamar mandi. Habis itu, cari obat, gak ketemu. Harus ke warung dulu. Eh, warungnya pagi-pagi belum buka. Ke apotek. Apotek juga belum buka. Balik lagi ke warung, gedor-gedor pintu. Baru si Mbok keluar.”

Si guru BP geleng-geleng kepala.

“Kemarennya lagi, kenapa?”

“Itu karena hape saya mati, Pak. Saya gak tau dia lowbat. Tau-tau dia mati. Jadi, paginya dia gak bunyi deh!”

“Duh, susah juga yah.”

“Kemarennya lagi, kenapa dong?”

Wah, guru ini tidak mudah menyerah. Saya memutar otak.

“Hmm, saya lupa.”

Belum ada ide muncul.

“Kenapa yah, waktu itu? Hmm...”

Berpikir lagi.

Ah, ya!

“Oh, saya inget, Pak! Waktu itu, saya udah mau berangkat pagi-pagi. Eh, sopir saya telat! Yasudah, saya cari tukang ojek. Ternyata, pagi-pagi belum ada. Jadi saya balik lagi ke rumah. Mau minta dianter Papa. Banguninnya aja susah banget! Terus, harus nunggu dia buang air besar dulu, Pak! Parah deh!”

“Ck ck ck... Kemarennya lagi, kenapa dong?”

Haduh, guru yang satu ini keterlaluan!

“Waktu itu, saya udah bangun pagi. Terus, pas saya mau mandi, ternyata adek saya lagi boker! Harus nunggu dulu deh!”

“Kemarennya lagi? Kenapa tuh?”

“Itu... Kan pembantu saya lagi mudik. Jadi, Mama yang harusnya nyiapin sarapan. Eh, dia lupa! Saya jadi harus nyiapin sendiri. Telat deh, Pak!”

“Duh, banyak sekali alesannya!”

“Bukan alesan, Pak! Itu bener. Mana mungkin sih saya sengaja telat.”

“Iya, sih. Bapak juga gak bilang kamu sengaja. Cuman, kok halangannya banyak sekali ya?”

“Yah, mau gimana lagi, Pak...”

“Masalahnya, Rei...”

“Iya, Pak?”

“Apakah kamu jujur?”

Deg!

“Ah, mosok saya bohong sih, Pak?”

“Saya tidak menuduh kamu bohong, Rei.”

“Jadi, apa maksud Bapak?”

“Gini, Rei. Tadi pagi, saya telpon Mama kamu.”

Oh, no!!

“Kata Mama kamu, kamu selalu telat karena selalu bangun kesiangan. Padahal sudah dia bangunkan, tapi kamunya gak mau bangun-bangun.”