18/08/08

pak kumis

Siang ini, sepulang sekolah (di tanggal merah ini, sekolah saya tidak libur), saya beranjak ke sebuah restoran untuk melakukan transaksi jual-beli (produk kosmetik dan perawatan tubuh MLM yang baru saya geluti) dengan seorang klien. Dengan gagah perkasa, saya berjalan kaki dari sekolah satu di SMAK 5 BPK Penabur, yang terletak di Jalan Hibrida, sampai jejeran Mal Kelapa Gading. Dari depan deretan Mal Kelapa Gading itu, saya menghentikan laju sebuah angkot biru bertajuk 37D, lalu menaikinya sampai di depan McDonald Boulevard Barat.

Dari sana, saya menyeberang sampai Holand Bakery. Kemudian, saya menelusuri jalan panjang ke arah bundaran Boulevard demi mencari sebuah restoran yang kunjung saya temukan. Di tengah kebingungan saya, berkali-kali saya menelepon sang klien untuk menanyakan alamat pasti restoran itu, tapi telepon saya tak kunjung diangkat. Senasib dengan SMS-SMS saya yang tak kunjung mendapat balasan.

Saya memutuskan untuk menunggu sebentar di sebuah ruko yang tidak buka pada hari itu. Entah ruko apa itu, letaknya selengkungan dengan Dunkin Donut, Nuansa Musik, dan warnet Nexus. Di tengah penantian saya, muncul seorang pria paruh baya, entah dari mana, begitu saja muncul di samping saya. Tubuhnya agak berisi, kulitnya sawo matang, kumisnya subur, berbaju batik, menenteng jaket coklat, bersepatu pantovel kulit hitam, rambutnya klimis, dan wajahnya susah.

Ia menanyakan arah Pulo Gadung, saya menunjukkannya beserta petunjuk angkot apa yang menuju ke sana dari tempat itu. Orang itu menyatakan bahwa ia tidak butuh angkot, ia akan berjalan kaki, karena uangnya hanya sisa dua ribu rupiah. Maka, saya menawarkan uang receh yang tersisa di kantong saya. Namun, ia menolaknya. Ia menyatakan bahwa dirinya bukan Muslim, sehingga tidak boleh meminta-minta. Pernyataan yang aneh.

Kemudian, tanpa ditanya, ia menceritakan pengalaman pahit yang tengah dialaminya kepada saya. Saya mendengarkan dengan saksama dan berusaha memasang wajah sedih sebagai tanda simpati, meskipun sebenarnya saya kurang menghayati kesulitannya. Berikut ceritanya.

Ia bercerita bahwa ia berangkat dari sebuah rumah sakit di Jawa (tidak saya tanyakan Jawa mana), tanpa telepon genggam dan dengan ongkos pas-pasan. Tujuannya adalah Jakarta, rumah kontrakkan seorang saudaranya. Ia datang untuk membawa kabar dukacita kematian ayahnya. Rupanya, dari pemilik kontrakan, ia mengetahui bahwa orang yang dia cari itu justru sudah berangkat ke Jawa. Ia menjadi bingung.

Di tengah percakapan kami, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Jawa. Saya menyarankan kepadanya untuk mencoba berjualan koran atau menjadi kenek untuk mengumpulkan uang mudah, tetapi ia mengungkapkan masalah waktu. Ia sedang mengejar kereta terakhir di hari itu yang akan berangkat ke daerah tujuannya di Jawa pada jam 15.30 WIB, sementara ia butuh Rp 65.000,- (enam puluh ribu rupiah). Ingat, ia hanya memiliki dua ribu rupiah. Sebagai tanda simpati, saya menggaruk-garuk kepala.

Setelah perbincangan panjang dan bertele-tele, saya memutuskan untuk menyumbang kepadanya Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Hanya itu yang bisa saya berikan karena jatah uang saya paling tidak harus bertahan selama satu minggu dan jika saya berikan lebih dari itu, kemungkinan besar saya akan mengalami bencana kelaparan di akhir pekan.

Setelahnya, ia meminta nomor telepon genggam saya, untuk ia kirimi pulsa sebanyak pinjamannya ketika ia telah sampai di tempat tujuannya. Namun, tidak saya berikan. Sebagai gantinya, saya memberikan nomor rekening agar ia dapat mentransfer utangnya. Lalu, saya meminta nomor telepon genggamnya agar bisa saya hubungi. Rupanya, ia lupa. Ya sudah. Lalu, ia mengucap terima kasih, ia turun ke jalan dan mencari tumpangan. Dengan lima puluh ribu itu, ia berniat membujuk kondektur (ketahuilah, saya tidak tahu profesi apa itu).

Karena klien saya tak kunjung tiba, saya memutuskan untuk beranjak ke urusan lain di gereja. Saya mengirim pesan singkat kepada klien saya untuk mengabarinya dan membuat janji lain. Saya berjalan kaki dari tempat itu ke gereja saya, GKI Agape di Jalan Raya Nias. Lelahnya tak seberapa dibanding sorotan matahari yang membuat kulit saya menjadi belang.

Sepanjang perjalanan saya ke gereja, saya menceritakan kepada seorang teman baik saya kejadian yang baru saja saya alami bersama bapak-bapak itu via telepon genggam. Dengan yakin, ia berkata bahwa saya telah ditipu dan bahwa keputusan untuk memberikan nomor rekening adalah kesalahan besar. Entahlah. Jika sudah demikian, kepada Tuhan Yang Maha Tahu-lah saya mengadu.

Saya berdoa agar selembar uang (hasil jerih payah orang tua saya) itu tidak disalahgunakan. Berdoa agar Tuhan menyadarkan orang itu jika orang itu ternyata jahat. Berdoa agar Tuhan mengurungkan setiap niat jahat yang ia rencanakan. Berdoa agar rekeningku aman (di sana hanya ada seratus lima puluh ribu hasil jerih payah memenangkan sebuah lomba karya tulis tingkat kotamadya. Meskipun jumlahnya kecil, kesulitan mendapatkannya membuatnya begitu berarti). Berdoa agar Tuhan membimbing jalan orang itu ke solusi apabila ia memang sedang kesulitan.

Lalu, rugikah saya? Entahlah. Belum bisa saya jawab. Saya sendiri mendapatkan pengalaman baru, mengagumi bakat akting orang itu (jika memang ia berpura-pura), dan mendapatkan cerita baru. Lima puluh ribu rupiah untuk semua itu? Entahlah, apakah setara.

Maaf, Indonesia

63 tahun kemerdekaanmu
17 tahun umurku
Belum ada sesuatu yang berarti dariku untukmu
Maaf, Indonesia

Sejak dapat berpikir, aku mengkritik
Sejak dapat berbuat, aku berjuang
Belum ada perubahan yang berarti bagimu
Maaf, Indonesia

Berabad melawan penindasan
Berabad berjuang untuk kemerdekaan
Memanusiakan manusia
Apakah sudah berhasil?
Maaf, Indonesia

Menonton permainan politik
Kepentingan golongan
Penyengsaraan rakyat
Aku bukan seorang penguasa
Maaf, Indonesia


Entah berapa lama lagi Engkau akan bertahan sebagai sebuah negara
Entah berapa lama lagi aku akan bertahan sebelum menjadi onggokan daging mati
Takkan kusia-siakan waktu untuk memperjuangkanmu
Maju, Indonesia!

06/08/08

wewek in the bottle

“Kamu pernah jatuh cinta?”

“Ah, pertanyaan klise.”

”Tapi menarik.”

”Hanya bagi orang-orang yang suka mengurusi hal-hal sepele.”

”Orang-orang yang tidak bisa mengurusi hal-hal sepele, tidak akan bisa mengurusi hal-hal besar.”

”Orang-orang yang terlalu banyak mengurusi hal-hal sepele, tidak akan pernah menyadari hal-hal besar untuk diurusi.”

”Tidak berarti hal-hal sepele tidak perlu diurusi, ‘kan?”

“Huh…”

***

Ketika dipasangkan untuk duduk bersama Kuntilanak oleh wali kelasnya, Jurig merasa ditimpa bencana besar untuk setahun pelajaran ke depan. Perasaan yang selalu ia rasakan setiap tahun, setiap kenaikan kelas, setiap dipasangkan dengan seseorang untuk menjadi tetangga bangkunya di sekolah.

Keuntungan bagi Kuntilanak yang mudah bergaul, ia dapat dengan cepat akrab dengan teman-teman di sekitar tempat duduknya. Jika sedang bosan, ia langsung mengobrol dengan tetangga di seberangnya, atau depan belakangnya. Namun, ia tetap risih karena hantu di sebelahnya diam sehening cadas. Kadang ia bergidik, merasa duduk di sebelah manusia (ini salah satu pengaruh hobinya menonton film horor). Apalagi, ia sering diabaikan ketika mengajak sang cadas berbicara. Jika sedang beruntung, ia masih bisa mendapatkan jawaban ketus.

Keuntungan bagi Jurig, nyaris tidak ada kecuali tempat duduknya yang tepat di tengah kelas itu membuatnya nyaman. Sementara, Kuntilanak seringkali mengganggunya dengan mengajaknya mengobrol ketika pelajaran sedang berlangsung atau ketika ia sedang membaca buku saat jam istirahat.

***

Pada suatu jam istirahat, seperti biasa, Jurig membaca buku berisi jurus-jurus Ki Jaka Bono. Tiba-tiba, datang Kuntilanak sendirian (biasanya ia selalu bergerombol dengan cewek-cewek tukang rumpi), menghampiri Jurig.

”Eh, kenapa sih lu selalu sendirian?” buka Kuntilanak.

”Suka-suka gue,” jawab Jurig tanpa berpaling dari bukunya.

”Pasti ada alesan yang lebih jelas dong?”

Kali ini, Jurig berhenti membaca dan memalingkan tatapan kepada Kuntilanak. ”Otak lu terlalu dangkal.”

”Otak gue masih bisa digali lagi kok.”

”Gak semua orang mau otaknya digali-gali.”

”Oke, tapi karena gue mau, lu mau dong ngobrol sama gue?”

“Hah? Yang ada entar kita gak nyambung!”

“Coba dulu!”

Jurig tidak menyangka, jika Kuntilanak tidak kalah berpengetahuan dan berwawasan dibanding dirinya. Maka, segera terkikis sikap sombong yang sebelumnya juga ia tunjukkan kepada Kuntilanak.

***

Di hari sebelumnya, Kuntilanak terlibat pembiacaraan dengan beberapa temannya. Mungki hanya salah satu temannya, yang selalu diekori beberapa teman lainnya. Si teman ini bernama Wewek.

“Lu betah duduk ama si Jurig?”

“Oke aja. Kenapa?”

“Ih, gue sih benci banget ama dia!”

“Kenapa?”

“Udah jutek, sombong, aneh lagi!”

“Bukan karena Tuyul suka lirik-lirik dia?”

“Kurang ajar lu!”

Kuntilanak mengangkat kedua tangannya setinggi bahu dan menampakkan kedua telapak tangannya, tanda tak ingin bertengkar.

“Gue mau minta tolong sama lu,” lanjut Wewek.

Kuntilanak mengangkat kedua alisnya, tanda tertarik.

“Gue butuh lu buat ngerjain si Jurig!”

“Kalo gue gak mau?”

“Kita semua bakal musuhin lu dan itu berarti seisi sekolah juga bakal musuhin lu!”

“Hmm, gue pikir-pikir dulu deh!”

“Hah? Mau mikir apa lagi? Emangnya lu mau jadi public enemy?”

“Nggak sih, tapi gue juga gak suka celakain orang lain dengan sengaja.”

“Huh! Pikirin deh!”

Kemudian, Wewek and the gank melangkah pergi dengan langkah kucing.

***

Hanya dalam kurun beberapa hari berteman dengan Kuntilanak, Jurig telah menyadari betapa sama sekali tidak ada makhluk yang punya alasan untuk sombong. Ia menyesali dirinya di masa lalu yang angkuh dan menyepelekan orang lain. Ia belajar bersikap seperti Kuntilanak, yang menganut ilmu padi. Makin berisi, makin menunduk. Ia juga belajar berbicara dengan orang lain dengan ramah dan sesuai dengan bahasa mereka. Artinya, ia tidak bicara politik dengan pecinta musik. Ia tidak bicara olahraga dengan pecinta teater. Ia tidak bergosip dengan pecinta agama. Hal tersebut membuatnya menambah pengetahuan dari berbagai bidang.

Nun jauh di tempat lain, sepasang bola mata memandang benci kepada Jurig yang semakin terbuka untuk berteman dan bertambah temannya. Wewek, pemilik sepasang mata indah itu, merasa terancam karena perubahan Jurig. Ia lebih merasa terancam lagi (ditambah cemburu) ketika melihat Jurig bersenda gurau dan berbagi sesajen dengan Tuyul di jam istirahat sekolah di kelas mereka.

“Di Sekolah Setan ini, gue cewek paling cantik! Kenapa Tuyul malah deket-deket sama Jurig?! Kenapa bukan sama gue!”

Bidak-bidak pengekornya diam semua.

Wewek kesal. Ia memukulkan tangannya kepada tembok, bangkit berdiri bangkunya, lalu berjalan penuh amarah tanpa menghilangkan kesan anggunnya. Ia hendak menghampiri Jurig untuk menjambaki rambutnya, menampari mukanya, dan menjejali mulutnya dengan tanah!

Sayangnya, belum sepuluh meter ia melangkah, ia harus memekik ngilu, sehingga semua mata teralih padanya. Semua mata itu terkejut dan takut. Ekspresi yang terkadang diikuti seringai ngeri. Kemudian, semua berhambur keluar kelas untuk mencari ruangan lain yang lebih aman. Ada juga yang meminta bantuan guru-guru yang mereka temui. Namun, Wewek tetap tak tertolong lagi.

Di sana, Wewek berteriak minta dibebaskan. Namun, penangkap-penangkapnya tidak menghiraukan teriakkannya. Mereka tetap berkomat-kamit membaca mantra dengan gaya-gaya yang aneh-aneh. Seragam putih panjang mereka membuat Wewek makin benci karena mengingatkannya pada si Jurig pencuri hati Tuyul.

Wewek menangis sejadi-jadinya di dalam botol sirup kaca yang tutupnya berbahan plastik berwarna putih.