08/01/12

hujan


Jam 9 malam di Sydney. Langit berduka. Wajahnya gelap, ia deras menghujani bumi. Sesekali melempar kilat petir dan menggetarkan dunia dengan raungan guntur. Dari jendela kamar apartemen, aku menatap keluar, ke jalanan, mengikut alur mobil-mobil dan langkah-langkah manusia di bawah sana.

Memoriku menarik diri kembali ke masa lalu. 3 tahun lalu, di Indonesia. Langit juga sedang berduka. Parau suaranya ketika hujan deras menghujam jalanan, selokan, dan genting. Guntur tak henti-henti berderu. Aku ketakutan. Aku terisak-isak. Air mata membasahi wajah dan bantalku. Kukumpulkan sedikit keberanian untuk beranjak turun dari kasurku. Berlari kecil, aku keluar dari kamarku. Kubuka pintu kamar adikku pelan-pelan dan aku masuk. Jam 12 malam, ia sudah tertidur pulas. Aku menyelinap masuk ke dalam selimutnya dan ia terbangun.

“Kenapa, Ci?” tanyanya dengan wajah khawatir.

“Takut”, satu-satunya kata yang mampu terucap, meskipun terputus-putus di antara selipan isak tangis.

Ia memelukku, hangat. Wajahnya penuh keprihatinan. Aku menangis sampai tertidur. Esok paginya aku terbangun dengan dua tangannya masih melingkar di pundakku. Ia pun terbangun. Aku tahu tangannya pasti kesemutan, tapi ia tidak mengeluh. Penuh perhatian, ia menanyakan bila aku baik-baik saja. Mataku bengkak, tapi aku tersenyum haru dan tenang.

Malam ini, langit berduka lagi, dan mungkin marah. Angin kencangnya memaksa pohon-pohon untuk menunduk takut. Malam ini, aku membasahi wajahku dan bantalku dengan air mata lagi. Aku tidak takut, tapi aku rindu adikku.