12/03/10

sekolah

Sarah:

Sudah lama aku tidak mengunjungi Indonesia, negara kelahiranku, sang surga yang sedang menuju kehancuran. Musim dingin tahun ini, aku pulang. Pertama, karena aku benci musim dingin. Kedua, untuk memperkenalkan calon suamiku kepada keluargaku.

Hari ketiga di Indonesia, Minggu pagi, sebelum ke gereja, aku menyempatkan diri menengok SDN 13 Petang, tempatku mengajar dahulu, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mengambil program sarjana untuk Fine Arts di Australia.

Minggu pagi, sejuk embun, kicau burung, mengatasi kesunyian. Sebuah bajaj berlalu, asapnya mengepul. Sambil mengibas-ngibas udara, aku berjalan memasuki gerbang sekolah. Seorang pria tua sedang menyapu lapangan.

“Aki,” sapaku. Ia menoleh. Terulas senyum di wajahnya.

“Bu Sarah,” ia ingat.




Minggu masih juga pagi. Aku memutuskan untuk mampir ke pasar dekat rumah, membeli sekilo belimbing dan sekilo mangga, buah-buahan yang sungguh mahal di Australia. Di Sydney, tempatku menetap, mangga berharga 2-3 dolar Australia per buah, sementara belimbing, terhakhir kutengok, 14.9 dolar Australia per buah. Kurs 1 dolar Australia = 8000-9000 rupiah. Maka, mumpung masih di Indonesia, aku harus puas membabat dua jenis buah itu.

Ponselku bergetar. Hanung, calon suamiku, menelepon. Ia sudah menunggu di depan pasar, menjemputku.

Ia berasal dari Medan. Kami memutuskan untuk ke Jakarta dahulu, bertemu keluargaku, sebelum ke Medan untuk bertemu keluarganya.

Setelah membayar belanjaan, aku berjalan cepat keluar dari pasar. Sejenak, aku berpapasan dengan seorang perempuan belia. Serasa aku mengenalnya. Ia pun menatapku sejenak. Namun, kami terus berlalu, dikejar waktu dan kesibukan masing-masing.

Sampai di mobil, aku menaruh buah-buahan di jok belakang, sebeluym akhirnya duduk di sebelah Hanung yang menyetir. Rem tangan ia lepas, tetapi tak jadi kita berangkat, sebab aku berteriak “Stop!”. Ia pun segera rem mendadak, membuat mobil di belakangn kami, yang hendak keluar dari parkiran menjadi terkejut. Klakson panjang dan makian pun mengotori udara.

“Ada apa, Sayang?” tanya Hanung.

“Ada yang kelupaan.”

Tanpa menunggu reaksinya, aku segera beranjak turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam pasar.

Aku mencari-cari wajah yang tadi kulihat. Aku ingat dia, Siti, namanya.

“Siti!” teriakku begitu pandanganku menangkap sosoknya.

Ia menoleh, tampak bingung. Ketika ia melihatku kemakin mendekat dan munkin ia mulai mengoingatku, ia berlari menjauh, lalu menghilang.

Aku membeli sekotak kue lupis, favoritku.

“Tadi lupa beli ini,” alasanku kepada Hanung ketika aku masuk kembali ke mobil. Ia hanya menggeleng dan tersenyum.




Senin pagi, aku ke pasar lagi. Pertama, untuk mencari Siti. Kedua, membeli gula jawa, favoritku. Tidak lupa, jagung manis, wortel, bihun, ayam, dan segala yang kuperlukan untuk memasak sekuali sup jagung, favoritku.

Setelah semua daftar belanjaan terpenuhi, aku pun mulai berkeliling pasar, berusaha mencari Siti. Dari kejauhan, mataku menangkap sosoknya. Ketika aku berjalan mendekat, ia tampak mulai waswas. Namun, kali ini, ia tidak dapat beranjak karena ia rupanya berjualan sayur dan saat itu, ia sedang melayani seorang pelanggan wanita paruh baya.

Aku telah berdiri tepat di sebelah pelanggannya. Aku turut memilah-milah sayur-mayur hijau di depanku. Aku benci sayur hijau, tetapi akan kubeli seikat kemangi untuk Hanung. Pelanggannya membayar, lalu pergi. Aku memasukan seikat kemangi ke keranjang belanjaku, lalu membayar sepuluh ribu rupiah. Ketika ia hendak memberi kembalian, aku menolak.

“Ibu Sarah,” ucapnya lirih.

“Siti, gimana kabarmu?”

“Baik, Bu.”

Kami sama-sama tersenyum. Agak kaku, tetapi tulus.

“Kamu tinggal di mana sekarang?” tanyaku.

“Masih sama, Bu, di belakang pasar.”

“Boleh kalau sekali-sekali saya mampir?”“Ah, jangan, Bu. Malu. Rumah saya kecil.”

“Jangan malu kalau tidak salah, Siti.”

Ia mengangguk dan tersenyum.




Ke rumah Siti, aku berkunjung. Tidak kecil seperti yang disebutnya tempo hari. Rumah yang tenang dan sederhana.

“Mari masuk, Bu.”

“Terima kasih, Siti.”

Hal pertama yang kulihat di sana adalah sebuah pigura di dinding ruang tamunya. Seorang pria, Siti, dan seorang anak perempuan.

Tak lama, pria dalam pigura itu muncul dalam bentuk nyata di depanku.
“Kenalkan, Bu, ini Joko, suami saya.”

Kami saling tersenyum dan bersalaman.

Suami? Berapa umur dia sekarang? 16 atau 17? Terlalu muda untuk berkeluarga.

Siti menunjuk kepada sesosok anak perempuan dalam pigura itu, “ini anak saya. Sekarang lagi di sekolah.” Anak itu lebih mirip Siti daripada Joko. Umurnya mungkin 5 atau 6 tahun. Pasti masih kelas 1 SD. Eh, kapan Siti menikah jika anaknya sudah sebesar itu?

“Di SDN 13?” iseng, kubertanya.

Namun, kemudian aku merasa bersalah karena kegembiraan di wajah Siti lenyap.

“Bukan, Bu. Di SDN 06 Pagi.”

“Maaf, Siti.”

“Ndakpapa, Bu.”

Mereka menjamuku makan siang. Sederhana dan nikmat. Nasi putih, tempe, dan kangkung. Betapa aku merindukan masakan semacam ini.




Sampai di rumah, aku masih dibayangi perasaan bersalah karena pertanyaan yang kulontarkan tadi. Aku teringat akan saat-saat terakhir aku mengajar musik dan bahasa Indonesia di SDN 13 Petang.

Siti adalah salah satu murid paling cermelang. Kesayangan semua guru. Menangkap pelajaran dengan cepat, cerdas, rajin, sopan, baik, taat beribadah, sempurna, idaman, lengkap. Masalahnya hanya satu, masalah klasik kebanyakan murid sekolah negeri yang miskin, kesulitan membayar uang sekolah. Ayahnya sudah meninggal , ibunya menghidupi dirinya, Siti, dan adik Siti dengan berjualan sayur di pasar dekat rumahnya.

Sebenarnya, SDN 13 menerima subsidi pemerintah (selayaknya sekolah negeri), sehingga uang bulanan yang harus dibayar siswa relatif murah. Namun, beberapa siswa berkemampuan ekonomi terlalu jauh di bawah garis kemiskinan sampai subsidi pemerintah pun tak mampu lagi menolong mereka. Tak sedikit dari mereka yang putus sekolah karenanya.

Selain itu, kami juga mengadakan program subsidi silang, di mana murid-murid dengan kemampuan finansial lebih baik membayar lebih untuk menutupi kekurangan murid-murid yang tidak mampu. Namun, karena proporsi murid yang tidak mampu terlalu besar dibandingkan dengan yang mampu, hal ini pun hanya sedikit membantu.

Program orang tua asuh, juga ada. Hanya membutuhkan promosi kepada orang tua-orang tua yang tidak dapat disanggupi sekolah yang terlampau miskin ini.

Paling tidak, dengan keberadaanku di sana, mereka boleh sedikit berhemat, karena mereka tidak perlu membayarku. Aku mengajar dengan sukarela.




Suatu hari, di semester pertama tingkat akhir Siti di SDN 13, kulihat Siti terduduk murung di tepi lapangan sekolah. Kulirik jam tanganku, jam 5 sore. Sekolah usai pukul 1 siang. Bahkan guru-guru pun sudah pulang semua. Hanya aku, yang tadinya sudah pulang, tetapi terpaksa kembali ke skolah karena kertas-kertas ulangan siswa yang seharusnya kukoreksi di rumah, tetapi lupa kubawa pulang.

Setelah mengambil kertas-kertas tersebut, aku menghampiri Siti dan duduk di sebelahnya. Rupanya, ia sedang menangis. Kusodorkan sebungkus tisu yang ia tolak dengan gelengan kepala.

“Ada apa, Siti?” tanyaku.

Ia menggeleng lagi.

“Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama Ibu.”

Gelengan lagi.

“Uang sekolah kamu?”

Ia mengangguk sejenak, tetapi kemudian menggeleng lagi. Tangisnya bertamabah gawat.

“Ibu bisa bantu kamu kalau itu masalahnya.” Aku merasa bodoh sekali karena gagasan ini baru sekarang muncul.

Ia kembali menggeleng. Lalu ia bangkit, berjalan pergi, tertatih-tatih. Aku terheran, terpaku di tempat, tidak berusaha menyusulnya.




Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi muncul di sekolah. Setiap aku berkunjung ke rumahnya, mencarinya, ibunya akan beralasan bahwa ia sakit dan tidak bisa diganggu. Jika kutanya apakah ia sudah dibawa ke Puskesmas, jawabanya adalah “Ibu tidak perlu khawatir.” Terakhir kali aku berkunjung, ibunya menyatakan bahwa Siti sudah berhenti sekolah.

“Saya tidak sanggup membiayainya lagi,” kata ibunya.

“Tidak apa-apa, Bu,” kataku, “Siti anak yang sangat pintar dan rajin. Saya bisa membiayai sekolahnya,” aku menawarkan lagi.

“Tidak, Bu. Dia tidak mau sekolah lagi.”




Sampai saat ini, hal itu masih misteri bagiku. Bagaimana mungkin siswa teladan yang cinta pendidikan seperti Siti tidak mau sekolah lagi? Angan-anganku akan masa depan cerah yang sudah tersedia baginya, yang sedang menunggunya untuk meraih, seketika buyar, hancur.

Segala rasa bersalah menghantuiku, karena aku tidak sejak dulu-dulu membiayai sekolahnya dan karena di petang hari itu aku tidak menyusulnya. Maka aku mengerti ketika Kepala Sekolah menegurku karena kinerjaku semakin lama semakin tidak memenuhi standar. Konsentrasiku berlibur entah ke mana, membuat caraku mengajar jadi lucu dan tidak kondusif.

Akhirnya kuputuskan untuk pergi jauh. “Aku mau kuliah lagi,” alasanku kepada semua orang.
Kupilih sebuah negara yang ada di benua seberang, negara yang tenang dan damai, Australia.

Siti selalu suka belajar. Cinta pengetahuan dan pendidikan. Anak kesayangan semua guru, anak yang diharapkan semua orang tua.

Bel tanda sekolah usai berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari kelas-kelas. Siti masih di kelas. Mencatat segala tulisan kapur yang terukir di papan tulis hitam di depannya. Ibu Asih, guru matematika, tersenyum melihatnya. Ditemaninya anak itu sampai selesai, sambil mengoreksi pekerjaan rumah yang baru dikumpulkan murid-muridnya.

Setengah jam berlalu, sekolah telah sepi. Tersisa beberapa guru yang tampak masih banyak tugas, beberapa lagi hanya mengobrol di ruang guru. Siti selesai mencatat. Ia berpamitan dengan Bu Asih, lalu segera berlari pulang. Lapar, membayangkan makan siang masakan ibunya.

Selangkah sebelum menjangkau gerbang sekolah, Pak Kepala Sekolah menghadangnya.

“Siti.”

“Iya, Pak?”

“Kamu tolong ke ruangan saya.”

“Ada apa, Pak?”

“Masalah uang sekolah kamu.”

Keceriaan di wajah Siti jatuh murung. Takut tidak mampu menghadapi masalah dan mengutuki keadaan yang menempatkannya di posisi sulit.

“Iya, Pak.” Jawabnya tanpa semangat.

Di ruang Kepala Sekolah, ia dibiarkan menunggu, lama sekali. Didengarnya suara-suara di ruangan sebelah, ruang guru, satu per satu guru beranjak meninggalkan sekolah. Ada yang naik motor, ada yang naik sepeda, ada yang berjalan kaki. Ada yang bercerita ria tentang anaknya yang berprestasi di sekolah, ada juga yang mengeluh tentang muridnya yang nakal. Akhirnya, sepi total. Hanya gemerisik dedaunan dimainkan angin. Siti tetap menunggu, sementara Pak Kepala Sekolah berada di warung terdekat, menghirup kopi panas dan merokok bersama tukang ojek setempat.

Ketika Pak Kepala Sekolah kembali ke sekolah dan memasuki ruangannya, ia melihat Siti masih menunggu di sana, tampak gelisah. Mungkin ia pikir, ibunya akan khawatir menunggunya pulang. Sebenarnya, jika ibunya khawatir, ia akan datang ke sekolah dan menjemput Siti. Namun, Pak Kepala Sekolah sudah memastikan bahwa ibunya saat ini masih berada di Puskesmas, mengikuti acara penyuluhan kesehatan bersama ibu-ibu lain.

Ketika Siti menyadari Pak Kepala Sekolah telah datang, perasaannya mulai tidak enak, dan ia pun tampak semakin gelisah. Apalagi ketika Pak Kepala Sekolah mengunci pintu dan menurunkan semua tirai agar menutupi semua jendela di ruangan itu. Ruangan itu kini benar-benar tertutup.

“Kenapa, Pak?” tanya Siti dengan suara bergetar takut, tanpa sepatah kata pun jawaban dari Pak Kepala Sekolah.

Pak Kepala Sekolah segera menghambur ke arahnya, menutup mulutnya, meraih sembarang kertas-kertas di mejanya untuk menyumpal mulut Siti. Mulut Siti terasa sakit karena terlalu banyak kertas dijejalkan ke dalamnya. Siti berusaha memberontak, memukul-mukul, menggeliat, menendang-nendang, tetapi Pak Kepala sekolah begitu kuat, mencengkeram tangannya, mengangkat tubuhnya, dan membantingnya ke lantai. Siti kesakitan, tapi teriaknya tertahan sumpalan kertas-kertas.

Siti terbaring terlentang di ubin putih yang dingin menusuki punggungnya. Tubuhnya tetap meronta-ronta, meskipun sia-sia. Pak Kepala Sekolah melepas dasi dan memakai dasinya untuk mengikatkan tangan Siti ke kaki meja. Siti tetap memberontak, tetap sia-sia.
Pakaiannya, perawannya, harga dirinya, pendidikannya, dan masa depannya, dilucuti habis sekaligus oleh Pak Kepala Sekolah, yang sejak ibu Siti menjanda, gigih mengejar dan menggodanya, tetapi selalu gagal dan ditolak.