06/05/09

salah

Semua orang pernah melakukan kesalahan. Kesalahan adalah salah satu unsur pokok seorang manusia. Yang membuat kesalahan itu benar-benar salah adalah ketika manusia tidak berusaha untuk memperbaikinya dan menjadikannya dalih untuk tidak menjadi cukup baik. Yang menentukan seberapa besar kesalahan itu adalah seberapa besar dampak dan kesulitan untuk memperbaikinya. Kesalahanku, kuperjuangkan setengah mati perbaikannya, tetapi ini adalah kesalahan yang benar-benar besar!

Aku menangis menekuri layar kaca, sendirian di kamar tidurku. Ayahku sedang dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Ibuku sedang berlibur dan berbelanja bersama teman-temannya di luar negeri (sesuatu yang dilakukannya sepanjang tahun). Pembantu-pembantuku sibuk di dapur, kebun, garasi, gudang, di mana-mana, tetapi tidak di kamarku. Di kamarku, hanya ada aku, menatap nanar terhadap layar kaca di depanku, duduk memeluk lutut di atas ranjang mewah yang nyaman, dengan segenggam tisu di teanganku –tisu yang telah kusut dan basah oleh air mata dan ingusku.

Percayalah, aku tidak sedang menonton sinetron. Bukan juga “reality” show. Bukan juga serial drama Asia. Bukan juga DVD film romantis. Aku yakin aku tida cengeng. Aku tidak menangis untuk hal-hal sepele. Tentu saja, hal ini tidak sepeleh. Ingat, KESALAHAN BESAR!

Nget nget nget... Nget nget nget... Nget nget nget... 

Ponselku bergetar. Karena diletakkan di atas perabot kayu, getarannya terdramatisasi. Menyentakkan jantungku, membuatku terlonjak kaget, pucat seketika. Pelan-pelan, dengan tangan gemetar, kuraih ponselku.

Calling...

Papa

Oh, tidak!

1 missed call

Terlambat diangkat.

Aku berusaha menenangkan diri, menghapus air mata.

Lagi-lagi... Nget nget nget... Nget nget nget... Nget nget nget... 

Ragu-ragu, kutekan tombol hijau.

“Halo? Papa?” suaraku serak.

Tak terdengar sepatah kata pun dari seberang sana. Hanya tarikan napas panjang, buangan napas berat.

Aku menunggu.

“Da...” suara Ayah serak.

“Iya?” sahutku lirih.

“Papa lihat...” ia tidak meneruskan. Kemudian, “hhh...” buangan napas panjang dan berat.

Kuraih remote TV-ku, kumatikan TV itu. Terdengarlah bahwa di seberang sana, Ayah sedang menyaksikan acara yang sama denganku sebelumnya. Jantungku langsung berpacu kencang. Aku semakin pucat, tenggorokkanku tercekat.

“Apa pendapat Bapak-bapak tentang kejadian ini?” suara seorang pembawa acara talk show, seorang wanita cantik yang tampak mandiri dan cerdas.

“Ini adalah tanda-tanda demoralisasi bangsa! Apa jadinya negara kita kelak jika pelajar dan pemipinnya sanggup melakukan zinah di depan kamera??” seorang pria paruh baya yang emosional.

“Ini perbuatan makhsiat! Neraka bagi orang-orang murtad it!! Api neraka!! Ingatlah, azab Allah mengintaimu!!” seorang pemuka agama.

“Sebenarnya, ada banyak faktor yang bisa menyebabkan hal seperti ini terjadi. Bisa jadi, mahasiswi ini kekurangan perhatian dan kasih sayang orang tua. Mungkin juga ada yang salah dengan lingkungan pergaulannya...” seorang wanita psikolog.

“ini adalah pencemaran terhadap dunia pendidikan Indonesia!” entah siapa.

Dan seterusnya...

Dan seterusnya...

“Hhhhh...” Ayah mendesah panjang.

Klik.

Tuuut... Tuuut.. Tuuut...

Aku kembali tenggelam dalam tangisan.