26/03/08

pisah

Aku akan menceritakan sebuah kisah tentang perpisahan. Hanya satu dari sekian banyak kisah tentang perpisahan. Entah apakah cukup berarti, tapi sangat ingin kuceritakan kepadamu.

Aku akan bercerita tentang sepasang hati yang baru dipertemukan setelah masing-masing hati telah terpaut hati lain. Mereka tidak ingin melepas, tidak ingin meninggalkan, tidak ingin mengkhianati, juga tidak ingin menyakiti, tapi itulah yang mereka perbuat satu sama lain.

Aku bercerita tentang seorang perempuan -mungkin namanya "Nita" dari kata "wanita"- yang saat ini sedang menatap lekat pada seorang laki-laki -kita sebut saja dia "Pri" dari kata "pria"-. Aku tahu kau akan protes jika aku bercerita tanpa nama. Kalau pun kau tidak protes, selalu ada orang lain yang protes. Baiklah, kulanjutkan cerita ini. Nita menatap Pri dengan perasaan jatuh cinta. Kuberitahu kau, sebelumnya Nita telah menjatuhkan cintanya pada hati lain. Ah, tapi jangan kau kira Nita ini adalah seorang perempuan yang sembarangan jatuh hati. Ia tidak seperti itu.

Dahulu Nita telah mencintai seorang lain. Siapa namanya? Namailah ia "Ali" dari kata "lain" dengan sedikit modifikasi. Awalnya, Nita tidak menyimpan perasaan khusus untuk Ali. Hanya saja, sikap dan perbuatan Ali yang begitu baik dan tulus kepadanya telah menanamkan setitik benih cinta di hati Nita. Benih itu subur bertumbuh. Sekalipun Nita tidak juga membalas kebaikan Ali, paling tidak ia berikan cinta dan itulah yang paling diharapkan Ali. Lama-kelamaan, cinta Nita pun menjadi tulus, bukan sekadar pamrih. Bahkan, ketika Ali tidak lagi bisa memberikan apa-apa, Nita akan tetap melimpahkan cintanya.

Lalu, saat ini, ketika Nita menatap Pri, ia merasakan sesuatu yang tidak pernah dirasakannya ketika bersama Ali. Itulah sejenis cinta yang benihnya langsung menjelma menjadi pohon rindang yang berbuah-buah. Sangat cepat tumbuh dan kokoh akarnya tanpa dipupuk atau disiram. Begitu jatuh benih itu di tanah, langsung ia menjadi pohon dewasa yang kuat. Ajaib.

Marilah kita beralih kepada Pri. Ia pun dapat merasakan tatapan Nita. Kujelaskan padamu, saat itu mereka sedang berada dalam sebuah ruangan di mana mereka dilimpahi berbagai macam ilmu oleh seorang guru yang berdiri di bagian depan ruangan itu. Sementara, mereka dan manusia-manusia lain yang seusia dengan mereka akan mendengarkan guru itu dengan seksama, mencatat, dan berusaha meresapi semua yang dapat mereka resapi. Kita sebut tempat mereka berada sebagai "kelas". Kelas-kelas seperti itu banyak terkumpul dalam suatu gedung yang kita namai "sekolah". Ya, tahulah kau sekarang bahwa mereka hanya anak-anak ingusan yang masih bersekolah. Setidaknya, tak sampai satu tahun lagi, mereka akan lulus dan memasuki perguruan tinggi.

Oh, kita telah beralih jauh dari cerita tentang Pri dan Nita. Baiklah, tadi kau sedang mendengarkan tentang Pri. Di kelas itu, Pri duduk tepat di depan Nila. Nila sendiri duduk di bangku paling belakang di baris kedua dari pintu. Terserah bagaimana kau membayangkannya. Itu tidak penting.

Kulang lagi, Pri dapat merasakan tatapan Nita. Perasaan aneh menjalari punggungnya. Ia ingin sekali berbalik dan membalas tatapan Nita, tepat di matanya. Akan tetapi, ia mempertimbangkan bahwa perbuatan itu akan menarik perhatian dan menimbulkan pertanyaan dan pernyataan sesat sebagaimana kita sebut sebagai "gosip". Maka, ia kurungkan niatnya itu. Ia nikmati saja perasaan aneh yang berjalan-jalan di punggungnya.

Sementara, ketika Pri keluar dari kelasnya nanti, ia akan langsung menemui seorang perempuan lain dari kelas lain. Kita bisa memanggil perempuan itu "Rani" sebagai comotan huruf-huruf dari kata "perempuan lain". Sepertinya, semua orang di sekolah itu akan tahu bahwa Pri dan Rani adalah sepasang kekasih sebab mereka tampak akrab dan mesra. Pri tentu tahu bahwa hal ini selalu menyakiti hati Nita, tapi ia merasa tak berdaya untuk mencegahnya. Selain karena kekasih resminya adalah Rani dan Pri membenci perselingkuhan, Pri juga mencintai Rani sebagaimana seharusnya seorang kekasih.

Namun, suatu ketika, saat cinta Pri kepada Nita melolongi hatinya keras-keras, Pri tak sanggup lagi membendung, apalagi menyembunyikan perasaan itu. Ia terombang-ambing antara dua keputusan yang salah satunya harus ia pilih: meninggalkan Rani untuk Nita atau melupakan Nita untuk Rani. Ia plin plan rupanya. Ia memilih jalan yang akan ia benci seumur hidupnya: perselingkuhan.

Perselingkuhan dengan Nita memang ia sesali seumur hidupnya sebab ketika hal itu telah diketahui Rani, Pri pun ditinggalkan oleh Rani yang hatinya pilu. Sejak saat itu, Pri begitu muram. Dilihat hal ini oleh Nita dan dianggapnya bahwa Pri lebih mencintai Rani sebab ia begitu sedih ditinggalkan oleh Rani. Sementara Nita tidak pernah beranjak dari samping Pri, tapi tak pernah mampu menghibur hatinya yang kehilangan. Maka, menyerahlah juga Nita. Nita pergi juga, meninggalkan Pri, dengan perasaan kalah, terabaikan, tak berguna, sakit. Tak lupa berbagai makian ia tujukan bagi dirinya sendiri. Entah karena merasa tak cukup berarti untuk Pri, karena merasa bodoh telah membiarkan dirinya menjadi seorang selingkuhan, atau karena merasa telah menjadi mainan bagi Pri yang akhirnya dibuang ketika tak diinginkan lagi. Sendirilah Pri sekarang. Menahan hati yang remuk. Menangisi kehilangannya.

Sementara, Nita kembali kepada Ali yang selama ini memang tidak pernah ditinggalkannya. Ia benar-benar menyesal akan segala perbuatannya bersama Pri, sehingga ia kehilangan akal dan menceritakan segala sesuatunya kepada Ali. Ali meradang, juga merana. Ali merasa tak sanggup lagi bersama Nita. Ia bahkan tidak mengungkit-ungkit segala kebaikan yang telah ia berikan kepada Nita. Ia hanya yakin dirinya begitu tak pantas, tak layak, tak cukup untuk dicintai. Ia memutuskan untuk menyingkir. Ia hendak membiarkan Nita bersama laki-laki manapun yang dicintainya, bukan terikat bersamanya semata-mata karena hutang budi. Ia tidak lagi mengerti bahwa saat itu yang dibutuhkan Nita adalah dirinya.

Begitulah mereka semua terpisah, tercerai berai.

24/03/08

tante peri*

Tante Peri. Begitulah biasa kupanggil dia. Waktu aku masih kecil orang-orang menganggapnya teman khayalanku karena hanya aku yang dapat melihatnya, tapi sampai saat ini pun, saat aku duduk di bangku SMU, ia masih bersamaku dan ia begitu nyata. Mungkin aku terlalu banyak menonton serial TV yang episodenya tak berkesudahan. Mereka mencekokiku kepercayaan akan makhluk-makhluk gaib.

“Ayo bongkar! Curi soal tes minggu depan!” seru Tante Peri padaku saat aku berada di ruang wali kelasku, guru fisika, karena keanjlokan nilai-nilaiku. Aku hanya berdiri diam, sementara Pak Hasan, guru fisikaku, belum kembali dari toilet.

“Kalau kamu nggak nurut, nanti kamu kutinggalkan!” ancam Tante Peri. Aku benci kesendirian. Kuputar kunci laci yang tertancap pasrah pada lubangnya dan kutarik laci itu keluar dari persembunyiannya pelan-pelan. Tanpa lama kurogohi, kutemukan soal tes yang kucari. Hanya kuambil selembar dari tumpukan itu. Pak Hasan tidak akan menyadarinya. Aku melipat-lipat kertas itu dan memasukkannya ke saku celanaku, sementara Tante Peri terbang bolak-balik dengan senang sambil tertawa melengking. Tawa yang menyamankan telingaku. Mungkin karena aku sudah terbiasa mendengarkannya.

Setelah mendapat surat panggilan untuk orang tuaku, aku meninggalkan ruangan Pak Hasan. Aku berjalan dengan tenang dan senang ke kelas karena aku tahu aku tidak akan mendapat nilai jelek untuk tes minggu depan.

“Hei, Duck!” teriak seorang anak laki-laki padaku sambil menempeleng bagian belakang kepalaku. Mereka memanggilku begitu karena menurut mereka aku harus mengikuti reality show “Duck” yang me-make over seorang buruk rupa secara ekstrim. Lalu seorang temannya menyelengkatku sampai jatuh. Bangun dari posisi tengkurap bukanlah hal mudah untukku. Ada yang mengambil kacamata bulat tebalku dan melemparnya ke suatu tempat yang jauh.

Bel masuk berdering tanda usainya istirahat. Anak-anak lain menjejalkan diri ke dalam kelas, sementara aku merabai koridor panjang sekolah demi menemukan kacamataku dan Tante Peri hanya tertawa sambil terbang mengitar di atas kepalaku dan mengejekku. Setelah lama aku merangkak di koridor sambil meraba-raba tanpa ada yang peduli, aku menemukan kacamataku dalam keadaan cukup baik. Hanya lecet sedikit. Baguslah, kali ini kacamataku tidak pecah. Tante Peri menyuruhku membolos pada jam pelajaran ini daripada masuk terlambat. Aku selalu menurut karena aku belum pernah membuat keputusan sendiri.

Aku ke toilet untuk mencuci muka dan membersihkan kacamataku. Sampai di toilet, aku bertemu beberapa anak sekelasku. Mereka menyeretku ke kelas dan mengadukan pada guru yang saat itu mengajar bahwa aku membolos, sehingga aku harus berdiri di belakang kelas selama ia mengajar. Seperti biasa, Tante Peri hanya tertawa dan mengejekku.

Di sini aku berdiri tepat di belakang seorang gadis yang kutaksir sejak SMP.

“Tarik! Tarik!” bisik Tante Peri pada telingaku saat kutatap tali bra-nya yang biru muda terang dan mencolok mengalahkan daya lapis kemeja ketatnya. Tak perlu kusadari saat tanganku mengulur, lalu menarik dan melepas tali itu dengan cepat. PLAK! Kentara betul bunyinya. Ia begitu terkejut.

Ia dan seisi kelas kini menatapiku. Aku hanya celingak-celinguk tanpa ekspresi khusus pada wajahku, sementara Tante Peri begitu riangnya melengkingkan tawanya sambil mengitari kepalaku. Melewati wajahku berkali-kali dengan cepat.

“Nando narik tali beha Lina, Pak.” Jawab anak sebangku Lina dengan tampang polos saat guru menanyainya. Itu membuat seisi kelas terbahak membuat gemuruh. Wajah Lina sangat merah sekarang. Paduan antara malu dan marah.

***

Setelah bel pulang sekolah berbunyi aku buru-buru mengeluarkan diri dari kelas, berhubung tempat dudukku paling dekat dengan pintu kelas, sebelum anak-anak lain berhamburan ke koridor dan menggencetiku. Sayang, sebuah tarikan pada bagian belakang kerah bajuku membatalkan segala niatku. Lina dan teman-temannya.

“Buat apa sih lo kayak gitu tadi?” bentaknya tanpa bisa kujawab. Mereka menyeretku cukup jauh sampai ke perkarangan di belakang sekolah. Tante Peri memang tak pernah membantu. Hanya tertawa dengan lengkingan.

“Lo nggak ada kerjaan lain ya?”

“Lo tuh mendingan isi formulir buat ikutan Duck!”

“Iye. Biar lo disedot lemak!”

“Lemak lo tuh musti disedot tujuh kali baru lo bisa langsing !”

“Trus lo musti oprasi plastik tujuh kali biar tampang lo nggak bikin eneg!”

Tak satupun makian mereka kujawab karena mereka pasti tertawa mendengar kegagapanku. Mereka memukuli, menendangi, dan menginjakiku. Setelah selesai, mereka bubar meninggalkanku berdua dengan Tante Peri.

“Kamu jelek! Kamu jelek! Gendut!” Tante Peri terus-menerus mengejekku. Tetap terdengar cemooh itu meskipun kututup rapat telingaku. Tetap tampak tariannya meskipun kututup rapat mataku. Sangat lama. Tiba-tiba semua itu berhenti.

“Hei, ayo cari dia!” Tante Peri membangunkanku dari ketertutupanku.

Sore sudah larut. Aku bangkit dan mulai mengendap-endap menyelidiki setiap sudut sekolah. Hanya kutemukan penjaga sekolah tertidur pulas dekat gerbang sekolah. Setelah cukup lama aku mondar-mandir, kudapati Lina memasuki toilet wanita dengan seragam cheerleader-merah-ngejreng-nya. Teman-temannya pasti sudah pulang.

“Kerjain dia!” kata Tante Peri,”Nggak bakal ada yang tau!”

Aku berjalan tanpa suara memasuki toilet wanita. Ia sedang berada di salah satu ruangan dalam toilet itu. Ruangan paling ujung. Kulihat strip kecil di atas gagang pintu itu berwarna hijau, bukan merah. Ia tidak mengunci pintunya. Meskipun sulit, kurendahkan kepalaku untuk mengintip lubang setinggi sejengkal di bawah pintu itu. Kudapati kaki-kaki indahnya tanpa alas.

Begitu saja aku menerobos masuk. Kuincar mulutnya untuk kubekap dengan satu tanganku dan tanganku yang lain memelintir dan menggenggami kedua tangannya di depan punggungnya dengan kuat. Dengan sangat cepat kuambil salah satu baju pada gantungan pintu untuk menyumpal mulutnya. Lalu, kuambil kain lain yang tergantung untuk mengikat tangannya. Kulepas dasiku untuk mengikat kakinya. Setelah itu, kukunci pintu WC itu. Rontaannya yang tadi bergitu kuat sekarang terasa begitu pasrah. Ia mulai meneteskan air mata, sementara keringatku pun menetes-netes.

“Buka!” pinta Tante Peri dengan bisikan geram.

Tangan-tanganku mulai kelayapan mem-browse kulitnya dan hendak melepaskan helai-helai yang melapisinya. Kulihat wajahnya begitu ketakutan dan tatapan memohon ampunnya padaku membuatku lemas. Kuhentikan aksiku dan aku hanya duduk diam di depannya. Ia pun merosot jatuh dari posisi berdiri ke posisi duduk di depanku. Aku tak akan sanggup. Ia satu-satunya manusia yang kusayangi.

“Apa yang kamu lakukan?” bentak Tante Peri sambil melototiku.

“Aku nggak mau nyakitin dia, Tante Peri.” Ucapku dengan lancar. Lina menatapku dengan bingung. Entah bingung karena kegagapanku telah ciut dan hilang atau karena “Tante Peri”. Tante Peri begitu marah, ia terbang dengan cepat untuk meninggalkanku.

Aku maju dan memeluk Lina dengan erat. Kubenamkan wajahnya ke dadaku yang empuk. Cukup lama kurasakan pemberontakannya sampai akhirnya ia hening. Kurenggangkan pelukanku. Kutatap wajahnya yang biru dan matanya yang membelalak kaku. Ia lemas. Buru-buru kukeluarkan kain yang menyumpal mulutnya dan kulepaskan segala yang mengikat pergelangannya. Kupegangi wajahnya dan kutampar pelan beberapa kali tanpa ia beri reaksi. Butuh waktu cukup lama untuk kusadari bahwa ia telah pergi meninggalkanku SENDIRIAN.

Dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku berusaha membuka pintu dengan tangan-tanganku yang gemetaran. Setelah aku dapat menghambur keluar dari sana, kupanggil Tante Peri. Aku berteriak dengan serak dan dia tak kunjung tiba. Satu tanganku memegang dan memeras dadaku yang sakit dan tanganku yang lain bertumpu pada wastafel untuk membangkitkan tubuhku. Baru sejenak aku berdiri agak tegak, banyak kunang-kunang menghinggapi mataku dan menari-nari disana. Kepalaku sangat sakit. Ngilu dan berputar-putar. Aku kehilangan kekuatan dan keseimbangan. Aku roboh dan kepalaku menghantam wastafel yang jelas tak mungkin dikalahkannya. Hal terakhir yang kurasakan adalah panas dan amir cairan yang mengalir keluar dari kepalaku.

*Pernah dikirimkan ke sebuah majalah remaja, tapi tidak dimuat.

20/03/08

sidak

13.00. Jam pelajaran kedelapan di sekolah. Tampak di luar jendela, hujan menghujami bumi dengan begitu antusias. Sebagian murid menjadi gelisah sebab mereka akan mengalami kesulitan dalam perjalanan pulang ke rumah masing-masing apabila hujan terus bersemangat mencurahi bumi.

Matematika. Aljabar fungsi. Entah apa itu. Abe bosan. Ia memutuskan untuk mengeluarkan handphone-nya (handphone termasuk dalam klasifikasi "barang haram" atau "ilegal" di sekolahnya) dari tempat persembunyiannya di tempat yang sangat rahasia di dalam tasnya. Tempat yang selama bertahun-tahun terbukti telah menjaga handphone-nya agar aman dari incaran guru-guru. Ia menyalakan mesin komunikasi itu. Diliriknya sekali-kali guru yang sedang mengajar di depan kelas. Ia menjaga agar gerak-geriknya tetap wajar. Ia memasukan kode pin. Ponsel itu telah menyala.

Abe menunggu sampai telepon genggamnya siap lahir batin untuk ia fungsikan. Beberapa kali dicobanya, ponselnya masih mengeluh "SIM card is not ready". Abe sabar. Akhirnya, si kartu SIM telah siap. Ia menulis sebuah pesan pendek. Langsung tertuju kepada seorang temannya di belahan Kelapa Gading lain yang sedang berbolos ria dari kegiatan belajar di sekolah. Cede, nama temannya. Setelah beberapa kali mereka saling berbalas pesan, akhirnya mereka membicarakan Ksatria Baja Hitam karena temannya itu hendak membelikan sebuah boneka berbentuk Ksatria Baja Hitam (yang berwarna merah jambu) untuk pacarnya yang berulang tahun ke-15.

Obrolan tidak penting pun tak terelakkan. Demikian isinya setelah diterjemahkan dari bahasa SMS ke bahasa percakapan.

Abe : "ksatria baja item itu lalat kan?"

Cede : "bukan. dia belalang. nama motornya aja belalang tempur. nama musuhnya gorgom. nama jagoannya kotaro minami."

Abe : "wah, waktu kecil, gw malah ngirain si katro miyabi itu bajaj item."

Cede : "mana ada bajaj kayak begitu?"

Abe : "mirip tauk!"

Cede : "kagak ada mirip-miripnya. kalo dia tau lu ngatain dia begitu, bisa-bisa lu kena pukulan matahari ama tendangan maut!"

Abe : "emang dia bisa kungfu?"

Belum sempat pertanyaan itu mendapat jawaban, muncul seorang guru fisika di ambang pintu kelasnya. Guru itu meminta izin dahulu kepada guru matematika yang saat itu sedang mengajar. Ia hendak mengambil alih kelas. Dengan tenang ia melenggak masuk ke dalam kelas, diikuti dengan segerombolan guru di belakangnya. Boro-boro sempat menghitung ada berapa guru yang menerobos masuk saat itu, jantung Abe saja sudah tak terhitung lagi ketukannya!

"Kita mau razia. Semua tangan di atas meja!" begitu pinta sang guru fisika.

"Ayo! Tangan di atas meja!"

"Tangan gak boleh di bawah! Harus di atas meja!"

Sebagian teman sekelas Abe pun dengan pasrah meletakkan tangan mereka di atas meja. Sebagian mengangkat tangan mereka di atas kepala seperti seorang sandera yang sedang ditodong pembajak. Sebagian tidak jelas tangannya di mana sebab mereka sedang panik dan berusaha menyembunyikan "barang haram" yang mereka bawa. Abe termasuk dalam golongan terakhir.

Dalam keadaan seperti itu, ia sudah tak mampu berpikir. Ia masukkan saja handphone-nya ke dalam kotak stearoform berisi nasi, tempe orek, dan ayam nanking (sisa makan siangnya). Tak apalah jika ponselnya menjadi kotor. Asal tidak disita. Rasanya akan sangat sulit hidup tanpa ber-SMS-an.

Seorang guru dengan gagah menghampiri tempat duduknya. Teman sebangkunya telah lolos seleksi. Gilirannya. Guru itu menggeledah tasnya dengan teliti. Lalu, meraba-raba setiap sisi tubuhnya untuk menemukan sesuatu yang disembunyikan. Wajah Abe yang pucat panik dan berkeringat dingin itu benar-benar membuat si guru penasaran. Akhirnya, guru itu mencurigai kotak makanan yang beratnya melebihi batas wajar itu. Maka, ia membuka kotak itu dan menemukan sebuah handphone yang tidak tergiur untuk memakan ayam nanking. Ia pun harus membersihkan dahulu handphone-nya dari bumbu ayam nanking, kemudian menempelkan label nama di casing belakang teknologi kesayangannya itu.

Abe harus mengumpulkan handphone-nya ke dalam sebuah kantong plastik hitam bersama "barang-barang seludupan" teman-temannya yang tertangkap. Setelah itu, handphone-nya akan menderita satu minggu masa tahanan. Ia bahkan tidak sempat membaca SMS balasan dari Cede karena guru yang menangkapnya tadi menyuruhnya untuk segera menewaskan handphone itu dan mengumpulkannya. Padahal ponselnya telah memberitahunya "1 message received". Ia pikir, mungkin Si Baja Hitam memang mempunyai kungfu tingkat tinggi. Mungkin ia bisa melenyapkan handphone hanya dengan menggenggamnya, lalu memunculkannya kembali di lain waktu hanya dengan petikan jari. Eh, itu kan sulap?

10/03/08

ribut

Ada sebuah kelas di sekolah dengan segala keributannya. Di sana, para pengajar seolah-olah tidak dihargai. Memang, tidak semua siswa di kelas itu senang membuat keributan. Hanya segelintir orang yang selalu memicu keributan. Namun, usaha para guru untuk menjinakkan mereka seolah sia-sia. Mereka tidak peduli terhadap nilai-nilai merah. Mereka bebal karena terlalu sering dimarahi dan dihukum orang tua dan guru. Mereka pun tidak pernah jera meskipun tidak naik kelas. Setelah dua kali tidak naik kelas di sekolah itu, mereka akan dikeluarkan dari sekolah. Itu bukanlah masalah bagi mereka. Orang tua mereka yang lebih dari berkecukupan akan mengirim mereka untuk bersekolah di luar negeri.

Suatu hari, ada guru yang tidak tahan dengan segala keributan di kelas itu. Ia tahu betul, marah tidak akan berguna. Akan tetapi, amarah itu tak lagi dapat ditahannya. Maka, ia menggeberak meja dengan begitu keras, sehingga serentak semua siswa di kelas itu berhenti sejenak dari keributannya dan mengalihkan perhatian ke depan kelas. Sejenak, guru itu lega sebab merasa dirinya masih eksis.

"Kenapa sih kalian ini?" bentak guru itu dalam sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab.

"Selalu ribut," ia melanjutkan, "ada guru di sini, nggak kalian anggap!"

Guru itu menerawangi wajah-wajah muridnya. Semua datar menatapnya.

Hening.

"Saya sedang memberi kalian materi. Saya sedang mengajar kalian. Kalau kalian tidak mau mendengarkan, kalian juga yang rugi. Nanti nilai ujian kalian jadi jelek-jelek. Kalian juga jadi sia-sia datang ke sekolah karena kalian tidak mendapatkan ilmu yang seharusnya menjadi hak kalian."

Hening.

"Ngerti gak kamu?" guru itu menunjuk salah satu siswa.

"Saya, Pak?"

"Iya, kamu."

"Kenapa saya?"

"Karena kamu selalu ribut."

"Lho? Kan bukan saya aja yang ribut. Yang lain juga pada ribut. Kenapa Bapak marahnya cuman sama saya?"

"Bukan begitu."

"Bapak mengintimidasi saya?"

"Saya kan tanya, kamu ngerti gak? Kan selama ini kamu yang paling ribut."

"Enak aja, Pak! Dia juga! Mereka juga tuh! Nah, yang di ujung sana juga!" siswa itu menunjuk-nunjuk teman-teman sepermainannya. Yang ditunjuk hanya menyengir atau pura-pura tidak tahu.

"Sudah, jangan tunjuk-tunjuk!"

"Tapi mereka juga ribut. Bapak marahin yang lain juga dong?"

"Iya, yang lain juga dengar."

"Nah, gitu, Pak."

"Ya sudah, kamu jangan banyak omong! Rapikan seragam kamu!"

"Ah!" dengan malas, ia melakukan perintah guru itu.

"Duduknya hadap ke depan!"

"Lho? Saya kan duduknya paling depan dan paling pojok. Depan saya cuman ada tembok. Sementara, Bapak adanya di samping saya dan Bapak mau saya perhatiin Bapak. Jadi, saya harus hadep samping dong?" tangkisnya dengan nada yang sangat menyebalkan.

Pak Guru menghela napas.

Plok! Plok! Tiba-tiba suara dua belah telapak tangan beradu keras. Serentak, seisi kelas mengalihkan pandangan ke salah satu sudut belakang kelas, sumber suara itu.

"Yes! Yes! Dapet! Mampus lo, nyamuk sialan! Udah tiga kali lu ngigit kaki gue! Hahaha! Rasain lu!" suara salah seorang siswi membahana dari sudut itu.

Spontan, siswa-siswi lain dalam kelas itu tenggelam dalam gelak tawa. Setelah itu, mereka kembali dalam keributan mereka. Sang guru kembali diacuhkan. Maka, sang guru menyerah. Ia mengambil kertas-kertasnya dan alat tulisnya, lalu berjalan gontai menuju pintu kelas. Pintu itu dibukanya dengan kasar dan ditutupnya dengan membanting sekuat tenaga. Bunyi pintu terbanting yang keras menggetarkan dinding-dinding. Namun, tak satu pun dari murid-murid di kelas itu menyadari hal itu.

01/03/08

bosan (alam dinding III)

Aku telah menggali banyak lubang. Aku telah menemukan banyak mayat. Aku telah berdansa dengan banyak mayat. Aku telah bosan dengan semua ini.

Andai jiwa ini dapat mati. Tidakkah sang pencipta tahu bahwa aku tersesat di sini? Tidakkah ia kasihan dan ingin merengutku ke alam baka? Aku bosan!

Dari mana asal mayat-mayat itu? Oh, mengapa kau menanyakan pertanyaan yang tidak penting? Mereka berasal dari kuburan, tentunya. Jika kuburan mereka ditimpa dengan kuburan lain atau dengan bangunan atau apapun, mereka akan sampai kemari. Sebenarnya, mereka tersesat. Ada alam lain yang seharusnya menampung mereka. Di sana, mereka dapat berlaku selayaknya makhluk hidup. Mereka dapat berinteraksi satu sama lain dan mempunyai kehidupan yang menarik dan normal seperti manusia di dunia nyata. Namun, sayangnya, mereka tersesat ke tempat ini dan hanya menjadi boneka mayat. Mereka hanya mampu mengerang. Lalu, menjadi mainanku.

Kembalilah membicarakan diriku yang bosan ini! Ayolah, bantu aku keluar dari keadaan ini!

Aku ingin mati! Mati! Mati!

Aku telah mencoba banyak hal. Melompat dari atap gedung tinggi, menusuk diriku dengan pisau, sekop, garpu, gunting, apa pun! Percuma! Aku memang dapat menyentuh benda-benda itu sebagaimana benda-benda itu juga dapat menyentuhku, tapi mereka bahkan tidak dapat mencederaiku! Aku arwah! Arwah penasaran! Oh!

Aku benci dunia ini! Benci! Benci!

Aku mengambil tongkat besi, sekop, cangkul, bambu, apa pun!

Aku ingin memukul! Pukul! Pukul!

Mayat-mayat telah hancur menjadi onggok-onggok daging kecil karena kupukul.

Pukul! Pukul!

Marah! Marah!

Benci! Benci!

Bosan! Bosan!

Tembok. Pohon. Jembatan. Aspal. Tanah. Jendela. Pukul semua! Hancurkan!

Aku memukul terus-menerus sambil berteriak sekeras-kerasnya. Terus berteriak. Memukul. Berteriak.

"Diem dong! Berisik banget sih!"

Aku terdiam. Aku melihat sekeliling. Aku telah berada di sebuah ruangan dalam sebuah rumah sederhana setelah seharian mengikuti kakiku melangkah untuk terus memukul dan berteriak.

Tak ada suara lagi.

Aku kembali memukul dan berteriak. Merusak lantai.

"Heh! Gila yah?! Diem dong! Udah malem nih!"

Siapa gerangan meneriakiku? Oh, ada orang lain di sini! Aku mencari ke sekelilingku. Nihil. Mungkin halusinasiku. Lagipula, aneh jika aku dapat mendengar teriakan kecil sementara aku sendiri tengah berteriak seperti sedang kesurupan.

Aku kembali memukul dan berteriak. Menghancurkan lantai.

"Heh! Tetangga gila! Gue mau tidur! Lu mau berisik, di hutan aja! Dasar sinting!"

Tetangga?

"Elu tuh tetangga gila! Orang dari tadi diem-diem aja! Elu tuh yang sinting! Giling!"

Wah, ada yang ribut-ribut karena perbuatanku. Akan kujelaskan jika kau tidak mengerti situasinya. Salah satu dari mereka dapat mendengarku, tapi tidak tahu hal itu, sehingga ia mengira dirinya sedang mendengarkan tetangganya yang berisik. Tentangganya yang tidak tahu apa-apa dan tidak dapat mendengar dunia ini menjadi marah karena merasa difitnah. Sepertinya dinding rumah-rumah sederhana ini terlalu tipis. Hahaha! Ini menarik.

Tak lama, orang-orang dari kedua rumah telah bertemu di depan rumah mereka. Di jalanan, tepatnya. Dua orang remaja yang ribut-ribut itu telah membangunkan seisi rumah masing-masing dan meluaskan masalah mereka. Hahaha!

Hei! Bukankah aku dapat melakukan pertukaran dengan salah satu remaja yang dapat mendengarku itu? Ah, itu sangat kejam untuknya. Akan tetapi, menetap di sini pun terlampau kejam untukku.

Sekitar dua jam setelah keributan itu, orang-orang itu telah kembali ke ranjang masing-masing. Beranjak tidur dengan kedongkolan di dada. Saat itu, kuperkirakan si remaja itu telah kembali juga ke ranjangnya. Aku ingin mengintipnya.

Kutempelkan salah satu telingaku ke dinding yang merupakan dinding kamarnya di dunia nyata. Kupejamkan mataku. Aku dapat melihatnya! Seorang remaja putri. Cantik, menurut ukuranku. Tubuh proporsional. Tinggi sekitar 160cm dengan berat sekitar 45kg. Ukuran dadanya 34B. Kulit kuning langsat. Rambut sepinggang yang lurus, tapi ikal di ujung-ujungnya dengan poni miring. Sangat tipikal. Tidur dengan hot pants merah jambu dan tank top belang-belang merah jambu-putih, tanpa selimut. Mungkin pendingin ruangannya rusak. Butir-butir keringat kecil-kecil muncul di dahinya.

Dialah incaranku.