18/02/08

mayat dinding (alam dinding II)

Alam dinding. Dinding menjadi pembatas dan pemisah, sekaligus penghubung tak terbatas.

Terhubung tanpa tersentuh.

Mendengar tanpa melihat.

Kujalani hari-hariku dalam kesepian.

Sendiri.

Hening, kecuali dinding.

Tanpa suara manusia, kecuali dari dinding.

Tetumbuhan. Satu-satunya makhluk hidup yang menemaniku. Berbisik dalam gemerisik. Mereka berjiwa, tapi bukan di sini. Andai saja jiwa mereka ada di sini, aku akan berteman dengan mereka.

Yang tenang dan diam, justru begitu menyiksa. Aku hanya ingin mati. Lenyap tak berjejak. Kukira, itu pasti lebih baik daripada mencari orang lain untuk menggantikanku di sini. Kejam sekali membiarkan orang lain merasakan hal yang sama.

Aku naik ke atas sebuah gedung tinggi. Sebuah sekolah mewah dengan dominasi cat biru cerah di bagian luarnya. Aku naik ke atas atapnya. Terjuan dari sana. Menerpa angin, menabrak aspal.

Tidak, aku tidak mati.

Aku terantuk keras pada aspal tanpa merasakan apapun kecuali kerasnya aspal. Itu benar-benar tanpa rasa sakit.

Aku terbaring pasrah di atas aspal. Mendengarkan suara-suara aktivitas di bawah aspal. Kupikir, itu adalah suara aktivitas di atas aspal di dunia nyata. Adakah aspal juga merupakan dinding? Entahlah.

Adakah neraka lebih baik atau lebih buruk dari ini?

Atau inilah neraka?

Jika ini neraka, mana setan? Mana orang-orang bejat?

Mungkin mereka masih berkeliaran di alam nyata karena kiamat belum menjemput mereka kemari. Manusia bejat yang masih hidup berbuat jahat. Menghabiskan hidupnya untuk mati dan mati lagi di neraka. Manusia-manusia bejat yang sudah mati gentayangan. Mencari mangsa untuk ditakut-takuti. Si setan berkeliaran. Menggoda manusia. Menggelitiki iman mereka. Menggerogoti hati nurani mereka. Memanfaatkan mereka untuk pekerjaan haramnya.

Kalau begitu, aku harus menunggu akhir zaman tiba agar mereka beramai-ramai ke sini. Mungkin, aku hanya akan punya sedikit waktu untuk bermain-main dengan mereka. Setelah itu, tempat ini akan dihujani bahan bakar, lalu dibakar. Sementara di bakar, terus dihujani bahan bakar. Api yang tiada henti membakar. Semua benda habis. Gedung-degung habis. Manusia habis. Tumbuhan habis. Tetap dibakar. Sampai ke inti bumi. Cukup.

Erangan-erangan dari bawah aspal membangunkanku dari lamunanku. Dahiku berkerut penasaran. Kutempelkan salah satu telingaku pada aspal dingin itu. Matahari diacuhkannya, sehingga ia tidak menjadi panas. Erangan lagi. Erangan-erangan. Mengapa ada manusia mengerang-erang demikian rupa di dunia nyata? Atau, itu adalah dunia lain? Aku ingin menemukannya.

Aku bangkit, lalu berlari. Memasuki gedung sekolah (di sini tidak ada pintu yang terkunci). Mencari-cari di gudang sekolah. Lalu, berlari ke rumah-rumah. Mencari. Aku sadar. Meskipun aku bisa memasuki ruangan manapun dan mendengarkan apapun dari tembok manapun, di ruangan-ruangan itu tidak ada peralatan dan perlengkapan hidup seperti pakaian, teknologi, tidak juga perabotan, tidak juga makanan dan minuman, perkakas, tidak ada apa-apa.

Maka, kugunakan tanganku saja. Aku berlari lagi ke sekolah. Menjatuhkan diri di tanah kebun di belakang sekolah itu. Kutempelkan lagi telingaku pada tanah. Erangan-erangan lagi. Aku mulai menggali menggunakan tanganku. Menggali tanpa kenal waktu. Aku adalah... entah arwah atau jiwa. Tak butuh makanan, minuman, maupun istirahat. Juga tak kenal lelah. Aku menggali. Menggali. Menggali. Pagi. Siang. Sore. Malam. Menggali. Menggali.

Aku menemukannya! Sebuah kepala! Kutarik keluar kepala itu dari tanah. Perlahan-lahan agar tidak lepas dari tubuhnya. Kepala dan tubuh yang sama-sama kumal, berlubang-lubang, lusuh, lemas, hitam, dan begitulah. Aku berhasil menariknya keluar tanpa merusaknya. Jika ia terlihat rusak, ia memang telah rusak dari sebelumnya. Rusak dikunyah tanah.

Ia masih mengerang. Mulutnya membuka sesekali dan mengeluaran bunyi erangan. Ia seperti boneka yang bisa berbicara. Ia adalah boneka yang bisa mengerang. Aku mengangkatnya agar ia berposisi berdiri.

Aku memeluknya. Kami berpelukan.

Satu tanganku di pinggangnya. Satu tanganya di pundakku. Dua tangan yang lain berpasangan dan terangkat sejajar bahu.

Kami bergoyang-goyang. Berputar-putar. Melangkah maju-mundur. Kami berdansa di tengah kawah yang kugali dengan tangan-tanganku.

Sambil menari, aku menamai teman baruku: mayat.

15/02/08

alam dinding

6.29 pagi. Aku tiba di sekolah lebih awal 30 menit dari bel masuk sekolah. Menunaikan tugas apel pagi (huruf "E" pada kata "apel" dibaca seperti "bebek", bukan seperti "belatung")-melapor ke guru piket sebelum jam 6.30 pagi- selama beberapa minggu berturut-turut akibat tiba di sekolah terlambat beberapa kali. Setelah melapor kepada guru piket, aku pun memasuki kelasku yang terletak di salah satu sudut di lantai dua. Sesampaiku di sana, kutatap kelasku yang kosong melompong. Empat buah tas dengan desain dari zaman megalithikum sampai zaman orde reformasi tergeletak tanpa pemilik di empat meja secara acak. Aku tidak ingat siapa saja pemilik tas itu karena murid-murid di sekolah anak-anak orang kaya ini terlalu sering berganti tas. Ah, anak manja ibukota. Aku berjalan menyusuri gang-gang di antara deretan meja-meja dan kursi-kursi sampai ke tempat dudukku di pojok kiri belakang. Aku duduk.

Sambil menunggu seseorang datang, imajinasiku menari-nari di dalam kepalaku. Apakah bencana banjir baru-baru ini (saat ini awal bulan Februari tahun 2008) telah mengakibatkan sesuatu terjadi kepada teman-teman sekelasku? Apakah ada sesuatu yang lain yang terjadi dan membuat mereka menjadi makhluk-makhluk tak terlihat? Atau, justru aku yang tak terlihat dan tak dapat melihat mereka? Aku teringat akan "Misteri Kota Ninggi" karya Seno Gumira Ajidarma (kubaca dalam Cerpen Pilihan KOMPAS 1994) yang menceritakan tentang sebuah kota dengan orang-orang tak terlihat. Suasana mendadak mencekam.

Aku menunggu. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Setengah jam. Satu jam. Sebenarnya aku tertidur. Tiba-tiba, aku tersentak bangun. Aku dapat merasakan bahwa tidurku memang telah terlampau lama. Kukira kelas ini sudah penuh dan seorang guru telah masuk dan mengajar. Lalu, mereka memilih menertawakan lalu membiarkanku tidur selama pelajaran daripada membangungkanku. Mungkin juga mereka telah membangunkanku, tetapi tidurku terlampau nyenyak. Aku terkejut. Tidak seperti yang kukira, kelas ini tetap kosong! Hening sunyi senyap diam tanpa tanda-tanda kehidupan. Kulirik jam tanganku: 7:30.

Aku berlari keluar kelas. Memeriksa setiap kelas, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, laboratorium akuntansi, laboratorium biologi, laboratorium fisika, ruang musik, ruang tata boga, ruang multimedia, ruang guru, perpustakaan, aula, kantin, toilet, tata usaha, gudang. Kemana semua orang? Ini konyol! Tadi, ketika aku baru tiba, masih ada guru piket dan secuil murid penunai apel pagi. Mengapa semua menjadi janggal begitu aku memasuki kelasku?

Aku berlari keluar sekolah. Menatapi sebuah kota mati dari sudut pandangku. Sebatas pandanganku. Tak ada manusia. Gedung-gedung kosong. Mobil-mobil kosong. Semua kosong. Aku berteriak sekeras mungkin. Berkali-kali. Sekuat tenaga. Sampai tenggorokkanku sakit. Aku berhenti. Aku melirik ke kiri dan kanan. Berharap seseorang akan muncul. Nihil.

Ini mimpi. Ini hanya mimpi. Aku berusaha bangun. Kucek mata berkali-kali. Tampar wajah berkali-kali. Sentakkan kepala berkali-kali. Injakkan kaki kuat-kuat berkali-kali. Aku tetap di sini. Dunia yang sama. Aku ingin bangun. Mungkin aku masih tergeletak di ranjang di kamarku dengan jam beralaram menjerit-jerit di sampingku tanpa kusadari. Aku ingin bangun. Aku tidak bangun. Aku memang sudah bangun. Semua ini nyata.

7.45. Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Dengan keadaan kosong begini, entah apa pengaruhnya. Aku berjalan malas kembali ke sekolah. Mencari toilet terdekat. Bercermin dan menangis di depan cermin. Siapa tahu, pantulan bayanganku di cermin itu bisa menarikku ke dunianya yang mungkin tidak sekosong di sini. Benar saja, pantulan bayangan itu bergerak dengan gerak-gerik yang berbeda dengan yang kubuat. Aku pun heran dan menyelidiki.

Aku bergerak ke sana kemari. Ia diam. Aku melambai. Ia diam. Aku menyapa. Ia diam. Aku menyentuh cermin. Wah, cermin itu bergelombang! Seperti air yang disentuh ringan. Hanya saja, cermin itu tidak bisa ditembus seperti air. Rupanya, sentuhan itu membuat si pantulan tersenyum. Aku pun turut senang karena setitik harapan muncul bersama senyumannya itu.

“Halo, Vena!” sapanya padaku. Wah, ia tahu namaku!

“Halo! Kamu Vena juga ya?”

“Ia. Sekarang aku Vena.”

“Sekarang? Memang dulu bukan?”

“Bukan. Dulu aku Inggri.”

“Kukira kamu bayanganku. Jadi, namamu sama denganku.”

“Tidak. Maaf ya, aku mengambil alih tubuh kamu di alam nyata. Jadi, kamu yang menggantikanku di alam itu. Itu berarti, aku tidak pernah menjadi bayanganmu.”

Aku tercengang tidak mengerti. Ia pun mengulang-ulang pernyataannya dengan berbagai kalimat yang berbeda-beda dengan maksud yang sama dan sesederhana mungkin supaya aku mengerti. Aku mengerti apa yang ia maksud. Hanya saja, itu terlalu tidak masuk akal.

Tidak peduli dengan wajahku yang masih tercengang hingga liurku hampir menetes, ia pun melanjutkan dengan bercerita. Katanya, dulu ia juga pernah berada dalam posisiku. Seorang lain mengambil alih tubuhnya juga. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Ia harus menunggu orang lain yang dapat mendengarnya dari balik tembok kelasnya agar dapat kembali ke alam nyata dengan cara mengambil alih tubuh orang itu.

Aku pun teringat. Tembok di belakang bangkuku itu memang berbunyi aneh-aneh. Terkadang seperti suara aktivitas kelas, tetapi di balik tembok itu adalah gudang. Bukan kelas. Terkadang suara orang memanggil-manggil. Padahal, gudang itu telah lama mati fungsi dan dikunci begitu saja. Tentunya semua itu membuatku ngeri, meskipun itu memang menarik perhatianku. Karena aku menunjukkan ketertarikanku dengan menempelkan telinga ke tembok itu ketika di kelas tidak ada orang lain (misalnya ketika aku datang sangat pagi), mantan Inggri menjadi tahu bahwa aku mendengarnya.

Katanya, orang yang bisa mendengarnya adalah orang yang mempunyai akses ke alam ini. Tanpa kuketahui, ia pun telah menarikku ke alam ini dan menggantikan diriku di alamku. Jadi, aku harus melakukan hal yang sama kepada orang lain yang mempunyai persyaratan akses itu agar aku dapat kembali ke alamku.

Karena kukira alam ini adalah alam hantu, aku pun memberanikan diri bertanya, “kok di sini kosong? Hantu-hantu lain mana? Masak sesama hantu gak bisa liat hantu?”

Dia tertawa mendengarnya.

“Itu bukan alam hantu! Hahaha! Dasar! Kamu kebanyakan dicekokin cerita-cerita aneh!”

“Jadi apa dong?”

“Itu alam yang belum pernah ditemukan makhluk manapun kecuali kita yang telah menjadi korbannya.”

Dahiku mengerut dan alis-alisku saling mendekat tanda tak mengerti.

“Seumpama alam itu planet, ini adalah planet yang belum ditemukan makhluk lain. Kita adalah penemunya.”

“Kenapa kita bisa sampai ke sini?”

“Itu kan kejadian berantai.”

“Maksudku, orang yang paling pertama menemukan alam ini. Siapa dia? Bagaimana caranya?”

“Oh, aku menanyakan pertanyaan yang sama kepada pendahuluku!”

“Jawabnya?”

“Ia bercerita tentang seorang murid perempuan dari angkatan pertama sekolah ini. Berarti, saat sekolah ini masih baru.”

Raut wajahku antusias.

“Ia adalah seorang perempuan buruk rupa. Laki-laki maupun perempuan enggan melihatnya. Wajahnya maupun tubuhnya, tak ada yang indah.”

Aku makin antusias.

“Suatu hari, ia jatuh cinta kepada seorang murid laki-laki yang tampan dan populer. Mudah ditebak, ia bagaikan pungguk merindukan bulan. Laki-laki itu sudah mempunyai kekasih yang sangat cantik dan juga populer. Dirinya bagi laki-laki itu hanya mainan. Bulan-bulanannya dan murid-murid lain kala jam pelajaran kosong atau jam istirahat.”

Aku mulai sedih.

“Keputusan perempuan itu adalah bunuh diri.”

Hening.

“Ia menyayat urat nadi di pergelangan tangannya dengan gunting yang ia bawa untuk tugas keterampilan tangan. Saat itu, bahkan tidak ada orang yang menyadari kematiannya. Apalagi, ia duduk sendiri tanpa teman sebangku. Tepat di tempat dudukmu. Sementara, murid-murid lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.”

Hening.

“Lalu?” desisku.

“Lalu, si pengajarlah yang akhirnya menyadari hal itu saat hendak memeriksa pekerjaannya. Rupanya, ia menemukan genangan darah di atas meja dan mengalir membentuk genangan baru di lantai.”

Hening.

“Seharusnya, ia pergi ke alam orang mati. Desa Sukamati. Tempat orang-orang yang mati bunuh diri bermukim.”

“Tapi?”

“Tapi, ia tersesat. Ke alam ini. Alam tanpa makhluk lain. Rupanya, alam ini dapat terhubung dengan alam manusia, sehingga kita dapat mendengar hal-hal dari dunia manusia melalui setiap dinding yang ada di sana.”

“Bagaimana?”

“Jika kamu tempelkan telingamu di pasar, kamu akan dengar suara-suara pasar di alam nyata. Di dinding sekolah, suara-suara sekolah. Ia memilih dinding sekolah ini. Tepat pada dinding yang terdekat dengan tempat duduknya. Sebagian penerusnya memilih dinding sekolah juga. Termasuk aku. Ada juga yang memilih dinding pusat perbelanjaan, perkantoran, rumah. Terserah.”

“Semua dinding di seluruh dunia terhubung ke sini?”

“Ya.”

“Berarti, aku bisa keliling dunia di sini?”

“Jika kamu mau. Beberapa pendahulumu melakukan itu.”

“Wah…”

“Ya sudah, aku harus kembali ke alam yang nyata. Kutinggal kamu di sana. Terserah apa yang mau kamu lakukan. Kamu bisa mengambil alih orang lain yang memenuhi syarat, tapi kami tidak bisa mengambil kembali tubuh yang telah kuambil ini karena begitulah peraturannya. Selamat tinggal!”

Ia menghilang. Jadi, aku ini tidak punya bayangan lagi. Aku melihat ke lantai. Memang tidak ada bayangan. Pasti karena aku hanya arwah. Jiwa. Entah apa.

Sekarang aku bingung. Apa yang harus kulakukan? Keliling dunia atau meneriaki dinding-dinding untuk mencari orang yang dapat mendengarku? Mungkin menikmati kesendirian yang tidak mungkin kudapatkan di alam nyata?

Sambil kupikirkan, kunamai tempat ini: alam dinding.

01/02/08

surat

Aku bermimpi tentang waktu. Waktu yang bergerak cepat dan sia-sia karena aku hanya diam. Waktu yang bergerak sedetik-sedetik. Semenit-semenit. Sejam-sejam. Sehari-hari. Seminggu-seminggu. Sebulan-sebulan. Setahun-setahun. Jarum jam tak seharusnya bergerak secepat itu. Aku hanya merayap jauh di belakangnya. Aku tak berdaya. Aku tak berarti. Aku tak berguna. Aku tua. Ah...

Aku terbangun.

Kupegangi kepalaku yang agak sakit. Aku ingat pacarku yang selalu mengingatkanku untuk tidak dibebani pikiran-pikiran yang tidak penting. Tak bergunanya diriku, bodohnya diriku, konyolnya diriku, gagalnya diriku, tak ada yang dapat kubanggakan. Itu semua tidak benar baginya. "Kamu masih tujuh belas tahun! Pinter, rajin, banyak bakat, cantik, gak ada yang kurang deh! Kamu punya banyak prestasi. Aku aja bangga banget punya pacar kayak kamu. Kamu juga masih punya banyak kesempatan yang pasti bisa kamu raih dengan mudah!' begitu omelnya. Itu semua bagiku tidak benar.

Aku merangkak turun dari ranjangku yang masih lajang (single bed). Kutatap kalender harian yang tergantung mesra kepada lemari pakaianku. Kamis, 24 Januari 2008. Baru tiga minggu waktu beranjak dari ulang tahunku yang ke-17.

Tatapanku beralih kepada jam dinding di seberang lemari pakaianku. 5:30. Aku berolahraga kecil, mengambil keperluan mandi, lalu menyerbu kamar mandi yang masih perawan di pagi hari.

Aku termenung-menung selama mandi. Gerakanku menjadi serba slow motion. Tak apa. Aku selalu mempunyai waktu lebih karena aku bangun sangat pagi, sehingga aku tidak akan terlambat ke sekolah. Apa yang kurenungkan? Diriku. Hidupku. Semua sia-sia. Aku pasti sebuah kesalahan bagi orang tuaku. Mereka begitu sabar. Mereka tetap mau memeliharaku. Padahal aku tidak menuntut banyak dari mereka. Bahkan, jika mereka mengusirku dan tidak mengakuiku sebagai anak mereka, aku mengerti bahwa aku pantas untuk itu. Tunding aku. Salahkan aku. Aku memang bodoh dan tak berguna. Aku telah berusaha melakukan hal terbaik yang dapat kulakukan. Hanya saja, semua itu tak pernah cukup baik. Bahkan, tak pernah baik!

Aku teringat samar-samar ucapan selamat ulang tahun untukku dari Mama. Tiga hari yang lalu. Saat itu, ia pulang malam setelah seharian bekerja. Ia langsung menghampiriku di kamar untuk ucapan selamat itu. Ia berbicara kepada punggungku sebab aku pura-pura tidur agar tidak sakit hati. Ia tidak peduli.

"Nak, selamat ulang tahun ya! Kamu sekarang udah tujuh belas tahun. Itu berarti, kamu udah dewasa. Udah saatnya kamu bertobat dari kebiasaan-kebiasaan buruk kamu yang menyedihkan..." dan seterusnya. Aku tidak ingat. Aku pura-pura tidur. Berusaha memikirkan hal lain agar tidak perlu mendengarnya.

Kemarin sore, aku juga menemukan sebuah catatan dari Mama untukku.

DARI IBU YANG BAIK

SEBAGAI IBU KAMU, SAYA SANGAT-SANGAT-SANGAT KECEWA MELIHAT JOROK DAN BERANTAKANNYA KAMU, SEPERTI NENEK-NENEK BONGKOK 90 TAHUN YANG SUKA KUMPULIN SAMPAH DI SEKITARNYA. KAMAR KAMU PENUH DENGAN KETIDAKRAPIAN.

KAMU SEORANG WANITA YANG MEMILIKI KARAKTER DAN KEBIASAAN YANG AMAT SANGAT JELEK.

JANGAN ANGGAP REMEH TATA KRAMA, ETIKA, SOPAN SANTUN, DAN KERAPIAN. ITU MENUNJUKKAN SIAPA KAMU SEBENARNYA. APAPUN YANG KAMU LAKUKAN JADI SIA-SIA KARENA KAMU TIDAK MENGHORMATI DAN MENCINTAI DIRIMU SENDIRI.

TERTANDA IBU KAMU YANG UDAH CAPEK SAMA KAMU

Aku mengerti maksudnya bahwa aku hanya anak tidak berguna yang menyusahkannya sejak janin. Ia akan selalu membenciku dan apapun yang kulakukan tidak akan pernah benar dimatanya karena ia membenciku. Semua yang kulakukan dan kuusahakan memang tidak pernah berarti. Mungkin ia benar, semua yang kulakukan memang sia-sia. Aku menangis tanpa suara dan airmataku tersamar oleh siraman air dari shower.

***

Sepulang sekolah siang ini, Mama memarahiku. Rupanya, wali kelasku menelepon ke rumah untuk berbicara kepadanya perihal laporan hasil belajar (rapor). Sementara teman-temanku sudah mengumpulakn rapor-rapornya, aku bahkan belum melihat raporku. Aku sengaja tidak memberikan undangan pengambilan rapor kepada Mama. Aku tidak ingin ia melihat raporku. Ia selalu kecewa dan marah. Aku tidak membela diri ketika ia memarahiku. Aku juga tidak menjawab ketika ia bertanya. Semua itu akan membuatnya marah. Diam juga membuatnya marah. Sama saja.

Akhirnya, ia menemui wali kelasku untuk melihat-lihat raporku. Ia tidak membawa pulang rapor itu. Ia langsung menandatangani rapor itu dan mengembalikannya. Aku cukup mendengar laporan darinya.

"Kamu tuh gimana sih? Angka sembilan di rapor kamu tuh cuma ada satu! Siasanya delapan semua! Nilai afektif kamu juga ada satu yang B! Kamu cuma dapet predikat 'sangat memuaskan'! Cuma rangking dua lagi! Liat tuh si (menyebutkan sebuah nama)! Dia rangkin satu! Predikat 'istimewa'!"

***

Hari Senin pagi di sekolah sebelum bel masuk kelas, aku menangis di pundak pacarku. Ia berusaha menenangkan diriku yang sedih, juga dirinya yang marah. Baginya, aku adalah lebih dari cukup. Ia marah kepada Mama yang tidak pernah mendukungku, tetapi selalu mengharapkan lebih dari yang kupunya dari diriku. Ia membandingkannya dengan si rangking satu yang selalu dibantu belajar oleh ibunya yang dosen. Kuhapus air mataku dan aku berusaha menenangkan dirinya agar reda marahnya. Ia telah memberiku sebuah gagasan.

Aku telah sadar bahwa Mama memang tidak pernah mendukungku, tetapi selalu mengharapkan hal-hal yang tidak realistis dariku. Bahkan, dengan semua yang telah kucapai, ia masih menjelek-jelekkanku di depan teman-temannya. Biasanya, teman-temannya yang memuji dan membelaku. Kukira, ia haus pujian dengan cara yang berbeda. Ia ingin membanggakan dirinya melalui diriku, tetapi ia tidak pernah puas. Ia adalah orang tua yang sangat malu atas anaknya sendiri.

ANAK YANG NAKAL

SEBAGAI ANAK MAMA YANG TELAH BERUSAHA SEBAIK MUNGKIN UNTUK MENJADI BAIK DI MATA MAMA, AKU SANGAT KECEWA. APAPUN YANG AKU LAKUKAN SELALU JAUH DARI BAIK UNTUK MAMA. PADAHAL, APA YANG AKU LAKUKAN PUN KULAKUKAN KARENA AKU MENURUTI MAMA DAN INGIN MENYENANGKAN HATI MAMA. SEMUA PERCUMA.

SEKARANG AKU TAHU, SAMPAI KAPAN PUN, AKU TIDAK AKAN PERNAH BISA JADI SEPERTI YANG MAMA INGINKAN. CETAKANKU MEMANG BEGINI ADANYA. SUKA ATAU TIDAK, MAMA HARUS TERIMA. KALAU MAMA TIDAK MAU TERIMA, KUTUK SAJA AKU JADI BATU! KUTUK AKU SUPAYA MAMPUS SEKALIAN!

TERTANDA ANAK MAMA YANG SUDAH PUTUS ASA.

Malam hari yang gelap dan gerimis, aku mendapat setangan tamparan dari Mama. Ia marah karena pesan balasan dariku. Aku tidak merasa bersalah, juga tidak merasa perlu membela diri. Maka, kubiarkan dia memarahi dan memakiku sesuka hati. Ia tidak akan lagi menemukan reaksi dariku. Ia hanya akan kuberi wajah dan ekspresi datar tanpa emosi. Aku tidak peduli meskipun hal tersebut membuatnya bertambah murka. Aku tidak peduli.