27/01/08

wafat

Rambut-rambut halusku memberontak bangun dari kulitku. Mataku tak hendak berkedip dan keningku tak berhenti berkerut. Aku sedang menyaksikan berita tentang wafatnya Pak Harto, mantan presiden Indonesia yang sempat menjabat selama lebih dari tiga puluh tahun, di salah satu saluran swasta dalam negeri. Aku telah melihat melalui layar kaca yang tak seberapa luasnya, bagaimana ramainya Rumah Sakit Pusat Pertamina yang disesaki anggota TNI, polisi, wartawan, dan warga. Banyak orang penasaran ingin melihat langsung jenazah Pak Harto. Aku juga melihat Presiden Susilo, yang menetapkan Hari Berkabung Nasional selama seminggu sejak hari ini, berbicara di atas mimbar tentang wafatnya Sang Mantan Presiden.

Aku berpikir, apakah memang ada orang yang berduka cita selain keluarga Cendana? Apakah semua orang hanya berpura-pura bersedih? Aku tidak tahu. Aku pun bingung mengapa aku merasakan kesedihan dan kehilangan. Ia adalah satu-satunya manusia yang kutunggu kematiannya. Bukankah seharusnya aku senang? Aku tidak senang.

Aku tahu, seharusnya aku senang sebab aku menaruh dendam kepadanya. Aku tahu bagaimana ia membuat susah keluargaku karena kami berkulit kuning dan bermata sipit. Itu adalah alasan utama. Aku juga tahu ia adalah diktator dan koruptor raksasa di Indonesia. Bahkan, dia adalah koruptor terbesar di dunia sebagai individu. Meskipun hanya dari bacaan, aku juga tahu bahwa ia adalah Bapak Pembangunan yang mengorbankan banyak sekali manusia demi pembangunan yang tidak adil. Dari bacaan lain, aku tahu ia adalah pembantai yang tidak mengusir nyawa dengan tangannya sendiri. Meskipun aku tidak benar-benar merasakan dampaknya karena sebagian besar itu terjadi sebelum kelahiranku dan secuil terjadi pada masa kecilku, tetapi mengetahui semua itu tetap membuatku dendam.

Namun, siapakah aku sehingga aku berhak menghakiminya? Tidak, aku bukan siapa-siapa. Aku tidak berhak. Semua itu adalah bagian Tuhan. Ia yang berhak menghakimi. Manusia bahkan tak berhak mengira-ngira kemana ia akan pergi, surga atau neraka. Semua itu keputusan Tuhan. Aku meminta ampun kepada Tuhan karena telah mengharapkan kematiannya, telah mendendaminya, telah menghakiminya. Semua itu salah. Aku tidak berhak.

Aku masih menatapi layar kaca. Ayah dan ibuku masih seru dan serius menyaksikan berita berupa siaran langsung yang diliput seorang reporter wanita. Tak lama kemudian, latar dari lapangan dengan reporter berpindah ke studio dengan seorang penyiar yang juga wanita. Penyiar itu memberitakan bahwa Mantan Presiden Soeharto wafat pada hari Minggu tanggal 27 Januari 2008 jam satu siang. Belum lama.

22/01/08

bodoh

-Andai ia tahu betapa aku mencintainya. Tidak, ia tidak tahu. Jika ia tahu, ia akan menghargaiku. Ia tidak akan melecehkanku dengan hal najis yang ia lakukan padaku. Cinta hanya gombal manis di bibirnya. Bahkan bibirnya tak pernah manis. Asin dan kering. Entah mengapa dulu aku senang mengulumnya. Sampai sekarang pun, aku masih menyukai hal itu, seandainya saja dapat kulakukan. Pasti aku sangat bodoh.

+Andai ia tahu betapa aku mencintainya. Tidak, ia tidak tahu. Jika ia tahu, ia tidak akan menuduhku terus-menerus. Ia tidak akan menyalahkanku atas sesuatu yang telah kami lakukan bersama. Sungguh, aku tidak pernah memaksanya. Aku hanya berpikir bahwa apabila kami melakukan itu, maka kami akan tetap setia satu sama lain karena merasa terikat. Namun, ia berpikir lain. Aku justru menjelma laki-laki bejat di matanya. Aku bingung, sebab kekasih-kekasihku yang terdahulu tidak pernah bereaksi seperti itu. Mereka selalu senang dan puas. Hanya saja, aku salah bila menganggap semua perempuan itu sama. Pasti aku sangat bodoh.

-Andai ia tahu betapa semua ini menyakitiku. Aku merasa sangat hina dan sangat bodoh. Aku hanya seorang perempuan cantik dengan otak kosong yang mau saja ia permainkan. Aku hanya sebuah objek eksploitasi baginya. Sesekali kubayangkan betapa nikmatnya menjadi dirinya. Menggauli tubuhku yang saat itu masih perawan, sementara ia telah bergaul dengan banyak perempuan. Aku merasa kotor. Bahkan, setelah semua itu dilakukannya kepadaku, cintaku padanya tak berkurang secuil pun. Aku pasti sangat bodoh.

+Andai ia tahu betapa semua ini menyakitiku. Aku merasa sangat hina dan bodoh. Aku melakukan itu kepada semua kekasihku, tetapi ia adalah yang paling spesial. Aku melakukannya dengan nafsu yang memburu kepada perempuan-perempuan lain, tetapi aku melakukannya dengan cinta yang menggebu-gebu untuk dirinya. Aku tidak sekedar melakukan itu untuk kepuasanku sendiri, tetapi aku juga ingin memuaskannya. Sayang sekali, aku telah melupakan bahwa semua itu tidak baik dilakukan tanpa status menikah dan aku juga lupa bahwa ia adalah seorang perempuan yang menghargai pernikahan. Aku pasti sangat bodoh.

=Hei, kalian makhluk-makhluk bodoh! Sampai kapan kalian akan terpuruk dalam kenangan masa lalu yang bodoh itu? Sadarlah! Kalian berdua saling mencintai dan saling merusak satu sama lain. Hah! Kalian ini makhluk yang payah!

-Oh, pencipta! Sungguh, semua itu salahnya! Dialah yang merusakku! Dia telah melakukan hal yang sangat hina kepada diriku!

=Kau ini! Cobalah untuk mempunyai pendirian yang pasti! Kau memang perempuan yang taat, tapi kau tergoda saat ia menjilati lehermu! Kau begitu ragu, sehingga kau menolaknya dengan tidak cukup keras. Kau begitu lembek! Pantas saja ia mengira dirimu menginginkannya, hanya saja malu-malu! Kau sendiri menikmati itu, dan kini kau salahkan dia?

Hei! Kau ini hanya seorang perempuan! Dunia menetapkan kodratmu sebagai manusia kelas dua! Kau tetap akan dipersalahkan oleh dunia karena masalah ini! Kau tidak akan dimenangkan! Tak ada yang membelamu! Karena laki-laki selalu dianggap lebih benar! Karena kau hanya seorang wanita!

+Betul, pencipta! Belalah aku! Dia memang keterlaluan! Dia menginginkan itu, tapi terus menumpahkan segala kesalahan kepadaku!

=Kau memang buaya! Kau sendiri paham bahwa ia tidak akan mau melakukan semua itu sebelum waktunya! Kau telah ratusan kali mendengar penolakan darinya! Jangan tulikan telingamu! Ia menolak dan kau abaikan!

Tentu saja ia menikmatinya! Itu memang nikmat! Tapi ingat, ia menolak kenikmatan itu sebelum waktunya! Tapi kau terus memaksanya dengan perlahan dan terus menggodanya!

Kau masih membela dirimu bahwa ia menginginkan itu? Kaulah yang menginginkan itu! Kelaminmu tak pernah puas dengan perempuan-perempuan yang sebelumnya kau perlakukan sama dengannya! Kau selalu ingin lebih! Mungkin suatu saat nanti, kau akan butuh lebih dari satu wanita!

-...

+...

=Dasar bodoh! Kalian memang bodoh! Apa gunanya kalian menangis begitu? Sudah! Aku bosan dengan kalian! Aku akan menciptakan khayalan lain yang lebih menyenangkan! Kalian membosankan!

17/01/08

jijik

Aku tidak membencinya, tapi aku jijik padanya. Aku jijik setiap kali melihatnya, mendengar suaranya, bahkan ketika aku memikirkannya, membayangkan wajahnya. Dahulu, aku dapat menerima segala kelakuannya yang kampungan dan wajahnya yang buruk rupa. Namun, sekarang tidak lagi. Setampan apapun dia dan sebaik apapun prilakunya, aku tak dapat mentoleransi rasa jijikku kepadanya.

Baiklah, aku tahu betapa membosankan jika aku hanya membicarakan rasa jijikku padanya secara panjang lebar tanpa menceritakan mengapa aku begitu jijik padanya.

Awalnya, aku mengenalnya dari dunia maya. Sebuah situs pertemanan mempertemukan kami karena persamaan selera musik kami. Dari sana, kami mulai akrab sebagai online buddy. Lalu, kami mulai bertukaran nomor telepon. Kami mulai saling mengirim pesan pendek, lalu saling menelepon. Semua begitu mengalir sampai suatu saat kami memutuskan untuk bertemu muka. Ternyata, kami sangat cocok dan cepat akrab satu sama lain.

Ia memang kelihatan malu-malu pada mulanya, tapi ia sangat baik. Ia tidak pernah membiarkanku membayar makanan sendiri jika kami berpergian bersama, ia sering membelikanku benda-benda yang kubutuhkan, ia banyak memberiku hadiah, ia juga sering mengisikan pulsaku yang cepat habis karena harus menjaga kelangsungan komunikasi dengannya. Apalagi, kami berhubungan jarak jauh dan kami berdua sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, sehingga kami tidak bisa sering bertemu.

Hal itu terus berlanjut, sampai suatu hari ia menyatakan perasaan cintanya padaku. Ia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Tentu, saat itu aku sangat terkejut. Apalagi, aku tidak mempunyai perasaan yang sama dengannya. Aku memang menyayanginya, tetapi sebagai seorang saudara. Namun, aku tidak menolak permintaannya. Selain tidak tega, aku juga berpikir bahwa menjalin hubungan dengannya adalah semacam kesempatan untukku.

Ternyata, perasaan semacam yang dia rasakan kepadaku sangat penting. Aku baru menyadarinya setelah hubungan itu berlangsung agak lama. Saat itu, ia mulai suka menyentuhku dengan cara yang hanya dilakukan orang-orang yang saling mencintai secara intim. Bahkan, bagiku, hal itu baru pantas dilakukan ketika sepasang manusia telah diberkati di bawah pernikahan.

Awalnya, sebagai orang yang tidak mempunyai rasa cinta semacam itu untuknya, aku sama sekali tidak mau membiarkannya melakukan itu padaku. Namun, paksaannya yang halus, pelan, tapi pasti telah menyeretku perlahan-lahan ke arah itu. Itulah yang terjadi, sehingga suatu hari aku memutuskan untuk tidak pernah mengunjungi rumahnya lagi. Rasanya, setiap kali dia menjemputku untuk bertamu ke rumahnya, aku seperti sapi yang sangat tahu bahwa sebentar lagi aku akan dimultilasi di rumah penjagalan.

Perlahan-lahan, aku membatasi hubunganku dengannya. Membatasi, menghapus, memisahkan. Aku ingin lepas darinya. Aku tahu ia tidak akan menerima itu. Makanya, aku melakukannya diam-diam. Sama sekali tidak pernah membicarakan hal ini kepadanya.

Pertama, aku beralasan bahwa aku tidak dapat mengunjungi rumahnya lagi karena tempat itu sangat jauh dan aku akan pulang terlalu larut, sementara aku selalu sibuk esok harinya. Kedua, aku mengurangi perlahan-lahan frekuensi saling bertelepon hingga tidak pernah lagi. Ketiga, aku berusaha menuntaskan segala urusan antara kami berdua yang belum terselesaikan. Keempat, aku juga mengurangi frekuensi saling mengirim pesan pendek sampai tak pernah lagi.

Perlahan-lahan, bertahap, dan butuh kesabaran. Akhirnya, kami sama sekali kehilangan komunikasi. Aku merasa berhasil. Aku telah lolos dari tukang jagal. Aku tidak jadi mati dipotong-potong. Aku lega, bangga, dan bahagia.

Namun, sayangnya, semua itu tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan, memori akan hal-hal busuk yang dahulu kulakukan bersamanya muncul kembali. Tampil begitu saja dalam layar ingatanku. Begitu jelas. Mengganggu aktivitasku sehari-hari, mengganggu pekerjaanku, mengganggu ketenangan batinku, dan mengganggu kewarasanku.

Andai aku bisa menundingkan segala kesalahan itu kepadanya, tetapi tidak. Nyatanya, aku juga berandil dalam kenajisan itu. Aku telah pasrah, aku telah menurut, aku telah membiarkannya. Yang paling buruk, aku juga menikmatinya. Andai aku tidak punya libido sebesar itu, tapi kenyataannya sedikit picuan saja darinya dapat membangkitkan birahiku. Bodohnya.

Aku jijik. Aku jijik. Aku jijik. Aku benar-benar tak dapat mengusir bayangan-bayangan itu dari retinaku. Aku mengingat semua itu dengan jelas. Perbuatannya, rasanya, nikmatnya, dan aku jijik!

Aku berusaha menghilangkan semua itu dari penglihatanku. Aku ingin membuangnya. Aku benturkan kepalaku ke dinding kamarku. Aku ingin ingatan itu rontok bersama gempa dalam kepalaku. Kubenturkan. Kubenturkan. Makin kuat. Makin kuat. Tembok bata yang keras, bantu aku.

Aku merasa ringan. Sangat ringan. Seperti melayang. Melayang. Mengambang. Terbang. Naik. Naik. Mungkin perasaan ini yang membuat para pemakai obat-obatan terlarang menjadi kecanduan. Entahlah. Ah… Aku mendekati atap rumahku. Aku melewatinya. Aku sejajar dengan pohon-pohon tinggi. Hei, aku setinggi puncak monas! Oh, aku lebih tinggi darinya! Aku telah menembus awan. Ke luar angkasa kah aku menuju?

*

“…seorang wanita ditemukan tewas di kamarnya. Diduga ia tewas bunuh diri akibat stres. Diduga juga ia stres karena dipecat dari pekerjaannya oleh karena kelalaiannya sendiri…”

14/01/08

sampah plastik

Aku adalah sampah plastik. Tadinya, aku adalah kemasan sebuah produk makanan. Sebelum itu, aku dimainkan dan dibentuk sesuka hati oleh manusia-manusia di sebuah pabrik. Teman-teman seangkatanku juga mengalami hal itu dan mereka dibentuk persis sama seperti aku. Sebagian kecil teman kami yang berbentuk lain dari yang lain akan dibuang. Menjadi sampah sebelum digunakan. Sementara kami, yang sesuai dengan keinginan para manusia, menjadi sampah setelah manusia-manusia lain menguras habis makanan yang kami kemas.

Setelah menjadi sampah, aku tak tahu lagi arah dan tujuanku. Ini semua adalah akibat dari perbuatan manusia yuang tidak bertanggung jawab. Seharusnya manusia itu memasukkanku ke tempat sampah. Di sanalah seharusnya aku berada. Namun, manusia itu sama sekali tidak menghargai jasaku. Manusia itu melemparku begitu saja dengan sembarangan.

Padahal, aku tidak suka terombang-ambing oleh angin. Sesekali oleh air jika angin menjatuhkanku ke selokan. Di salah satu selokan mampat, aku sempat menjadi bencana bagi manusia. Di sana, aku kemasukan air selokan sebagai wadah terbuka yang mengapung di sana. Dalam genangan air dalam diriku, nyamuk-nyamuk penyebar penyakit malaria berkembang biak.

Aku juga pernah terdampar di pantai. Saat itu, seorang manusia kecil memungutku dan menggunakanku untuk menampung kulit-kulit kerang yang dikumpulkanya. Saat itu, setitik harapan muncul untukku. Aku berharap agar manusia itu membawaku sampai ke rumahnya dan akhirnya melemparkanku ke tempatku : tempat sampah. Namun, sayang sekali, seorang manusia betina yang besar memerintahkan manusia kecil itu untuk memindahkan kulit-kulit kerangnya ke plastik yang lebih keras dan tebal.

“Hey! Bungkus makanan!” plastik itu mengejekku.

“Memang kenapa kalo aku bungkus makanan?”

“Kamu cuma dipake sekali, terus jadi sampah! Hahaha! Aku dong… Tupperware! Aku tahan lama dan bisa digunakan berkali-kali. Bahkan, aku tahan suhu ekstrim! Hahaha!”

“Huh! Aku kan masih bisa didaur ulang! Aku bisa reinkarnasi berkali-kali!”

“Hahaha! Ini Indonesia! Hanya sedikit sampah yang punya kesempatan untuk didaur ulang! Kamu pasti telah terombang-ambing ke sana kemari dan nasibmu tak pernah jelas! Hahaha!”

“Biar saja! Suatu saat nanti, aku pasti didaur ulang!”

“Hahaha!” ia terbahak-bahak. Muatanku telah berpindah seluruhnya kepadanya. Aku pun dilempar sembarangan lagi dan melayang bersama angin lagi, sementara ia dibawa oleh manusia-manusia itu. Ia pergi sambil terus menertawakanku, “hahaha!”.

Angin membawaku lagi. Sesekali aku menyapa teman-teman sampahku saat kuterbang dibonceng angin. Angin melepasku di tepi jalan. Di ujung jalan itu, tampak seorang manusia sedang mengumpulkan sampah-sampah plastik ke dalam sebuah keranjang besar yang dipikulnya. Sayangnya, ia telah lama berlalu dari tempatku berada. Ia telah memunguti sampah-sampah yang tadinya berada di tempatku berada saat ini dan sekarang ia telah berjalan pergi memunggungiku.

Aku berteriak-teriak memanggilnya, tapi aku tahu ia tidak dapat mendengarku. Sebagian sampah di dalam keranjang itu mengintip iba kepadaku, sebagian tak peduli, sebagian lagi bahkan menertawakanku.

Kini aku sendirian di tepi jalan. Semua sampah yang tadinya tegeletak di sini telah naik keranjang bersama manusia tadi. Tidak ada lagi yang tersisa untuk sekedar menemaniku.

Tiba-tiba saja, seorang manusia berukuran sedang menghampiriku. Ia memungutku dari tepi jalan dan mencari tempat sampah untuk meletakkanku. Dia baik sekali.

“Dasar orang Indonesia! Suka sekali mengotori dan merusak lingkungan hidupnya sendiri! Senangnya ngomong agama, bilang ‘kebersihan adalah sebagian dari iman’. Omongnya saja yang besar!” manusia baik itu menggerutu dalam bahasanya.

Sementara itu, dua manusia lain kebetulan berjalan melewati manusia baik itu.

“Sok bersih banget sih!” celetuk salah satu manusia yang kebetulan lewat itu dengan ketus dalam bahasanya.

07/01/08

kata nenek

Nenek sering menasihatiku sejak ia tahu bahwa aku telah menjalin hubungan percintaan dengan seorang pria yang kukenal melalui sebuah situs pertemanan. Bagi nenek, orang yang dikenal melalui internet harus dicurigai.

Nenek terus mengingatkanku akan nasihat-nasihatnya setiap Hari Minggu. Setiap Hari Minggu sebab aku tinggal di Jakarta dan nenek tinggal di Medan, sehingga kami hanya berbicara seminggu sekali secara rutin melalui telepon. Biasanya aku menelponnya dari Jakarta dan mengobrol panjang lebar sebelum kuoper telepon itu kepada adikku.

Setiap kami mengobrol di telepon, nenek selalu menyisipkan peringatan untuk tidak jalan-jalan atau berkumpul berduaan saja di tempat sepi. Katanya, lebih baik jalan-jalan ramai-ramai bersama teman-teman yang lain supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (mesum). Itulah hal yang paling nenek takutkan.

Meskipun nenek agak cerewet, tetapi ia adalah teman baikku. Ia bersedia merahasiakan hubunganku dengan pria itu dari kedua orang tuaku sebab nenek tahu bahwa ayah dan ibu akan sangat marah kepadaku jika mereka sampai tahu hal itu. Walaupun nenek sendiri tidak menyetujui hubungan itu dan sering menyarankanku dengan cara yang sangat halus untuk tidak berpacaran dengan pria itu.

Bagaimanapun juga, nenek berada di Medan dan aku di Jakarta, sehingga aku kurang mengindahkan nasihatnya. Aku tetap jalan-jalan berdua dengan kekasihku, meskipun kami tidak berkumpul di tempat sepi atau bermesuman.

Suatu hari, aku dan pacarku merencanakan untuk berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan yang agak jauh dari rumahku. Kami selalu memilih tempat yang jauh dari tempat tinggalku untuk menghindari pertemuan dengan orang tuaku maupun teman-temanku. Ia tentunya takut bertemu dengan orang tuaku karena jika hal itu terjadi, kemungkinan besar aku tidak akan diizinkan lagi bertemu dengannya. Sementara, ia malu bertemu dengan teman-temanku karena ia merasa perbedaan ras membuatnya tidak sederajat dengan mereka.

Tiba-tiba, aku mendapat kabar dari sopir pribadiku bahwa ibu akan berbelanja di tempat di mana kami berbelanja saat itu. Kami pun terpaksa melarikan diri dengan angkutan umum ke sebuah mal yang dekat dengan rumahku. Kami terpaksa memilih mal itu karena waktu kami tidak cukup untuk berbelanja di mal lain yang jauh dari tempat tinggalku karena sekitar dua jam dari saat itu aku harus kursus Bahasa Inggris.

Pada awalnya, kami berbelanja sedikit dengan leluasa. Setelah berbelanja, kami makan di sebuah restoran dengan gembira. Setelah makan, berjalan-jalan sebentar untuk mengahbiskan sedikit waktu sebelum kursus Bahasa Inggris. Saat itulah mataku menangkap sosok segerombolan teman sekolahku. Aku memberi tahu hal itu kepada pacarku dan hendak menghampiri mereka sekedar untuk menyapa, tapi pacarku menarik tanganku untuk cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Kami berdua terus berjalan cepat sampai kami terpojok di sebuah sudut dekat kamar kecil, sementara waktu kursusku semakin dekat. Setelah menunggu beberapa menit, kami pun mengendap-endap keluar dari sudut itu. Kami tidak beruntung, gerombolan teman sekolahku yang lain sedang berkumpul depan kamar kecil. Tampaknya salah satu dari mereka sedang berada di kamar kecil dan yang lain menunggu sambil mengobrol. Kami terpaksa mundur kembali ke sudut semula dan menunggu.

Setelah beberapa lama menunggu, teman-temanku masih belum beranjak dari sekitar kamar kecil. Untungnya, kami ingat bahwa jalan ke sudut itu bukan hanya melalui kamar kecil. Ada jalan berkelok-kelok lain menuju tempat itu yang sering membuat orang tersesat. Tentunya, jalan mirip labirin itu dapat kami manfaatkan untuk keluar dari sana meskipun beresiko tersesat.

Kami pun mulai menyusuri gang-gang labirin itu. Saat kami mulai tersesat, kami bertemu dengan seorang ibu-ibu yang tampaknya juga tersesat. Ibu-ibu itu adalah salah satu teman ibu. Ia menatapku dengan wajah bingung, lalu menatap pacarku dengan wajah sinis. Mungkin karena kami bergandengan tangan di tempat sepi dan terpojok, ia jadi berpikir macam-macam. Kami pun mempercepat langkah kami dan menemukan jalan keluar. Akhirnya, aku dapat sampai ke tempat kursus dengan tepat waktu dan selamat sentosa.

Sepulang dari kursus, ibu telah menungguku di rumah untuk berbicara denganku. Rupanya, teman ibu itu meneleponnya dan mengadu tentang aku dan pacarku. Aku pun tahu ibu akan memarahiku sebab wajahnya telah berubah menjadi lebih beringas daripada narapidana.

Kukira, bagaimanapun juga, nasihat orang tua itu harus dipatuhi. Nasihat mereka berbeda tipis dengan kutukan. Meskipun ancaman mereka sangat jarang terjadi, tetapi segudang kesialan tetap menanti apabila kita tidak menuruti mereka.