18/10/07

maling

Aku menangis sambil menatap layar kaca di hadapanku. Berita di siang hari. Di sana terpampang wajah tetanggaku yang sedang diwawancarai tentang kasus pencurian yang terjadi di rumahnya. Rumahnya dibobol maling kemarin malam. Maling itu berhasil membobol dan mengangkut banyak uang dan perhiasan, tetapi ia gagal menyelamatkan dirinya. Ia diteriaki sebelum jauh dari rumah itu dan mati dikeroyok massa.

Wajar jika rumahnya kemalingan. Rumahnya sangat besar dan megah. Rumah konglomerat dengan lima mobil bermerek berjajar di bagasinya dan perabotan dengan mutu dan harga selangit di dalamnya. Seperti istana.

Sangat berbeda dengan rumahku yang kecil dan sederhana. Di rumah ini hanya ada satu mobil dan perabotannya lebih banyak buatan lokal daripada luar. Lagipula, harganya murah-murah.

***

“Bapaaak! Kok belum berangkat kerja sih?”

“Masih pagi, Bu. Sarapan Bapak mana?”

“Sarapan? Bapak belum ngasih duit belanja!”

“Lho? Bulan ini kan sudah.”

“Iya, tapi sudah habis. Bapak belum kasih lagi. Ini baru mau minta.”

“Sebanyak itu habis? Untuk apa?”

“Belanja. Untuk apa lagi?”

“Iya, untuk belanja, tapi belanja apa? Kok banyak sekali? Gak belanja makanan?”

“Belanja baju baru, tas baru, sepatu baru, perhiasan baru…”

“Hah?! Kok malah belanja begituan? Bapak kan ngasih duit untuk keperluan rumah! Malah ada lebihnya buat ditabung! Ibu jangan boros dong!”

“Aduh, Bapak! Sebentar lagi kan Lebaran! Wajar dong kalo…”

“Lebaran kan nggak berarti harus punya barang serba baru! Sejak kapan pikiran Ibu jadi sedangkal itu?”

“Dangkal? Sini!”

Ibu menarik Bapak sampai ke teras rumah.

“Bapak lihat tetangga kita! Biar gak Lebaran pun, mereka selalu punya barang baru! Selalu pamer sana sini! Ibu hanya minta barang baru waktu Lebaran! Hanya waktu Lebaran, Pak! Apa Ibu harus terus-terusan minder sama Si Ibu Sombong itu?”

“Bukan begitu, Bu. Kita kan beda dengan mereka.”

“Emang beda! Mereka jauh lebih kaya! Makanya Bapak cari duit dong yang banyak! Jangan kerjanya cuman males-malesan!”

“Bapak gak males-malesan, Bu!”

“Bapak males-malesan! Makanya cuman bisa jadi bawahan!”

“Bu, Bapak ini hanya tamatan SMU. Bisa kerja begini saja sudah bagus!”

“Bagus apanya? Lihat dong tetangga kita! Itu baru bagus!”

“Beda, Bu!”

“Udah, sana! Pergi kerja!”

Bapak pergi dengan segudang kedongkolan dari dadanya sampai ke tenggorokannya.

***

Aku memang orang yang tidak tahu bersyukur. Aku tidak akan bersyukur jika hanya ini yang kumiliki. Seharusnya ia bekerja lebih keras dan lebih rajin supaya hidup kami lebih layak!

*

Dulu ia tidak begitu. Dulu ia adalah seorang wanita yang sederhana dan baik hati. Ia selalu bersyukur atas segala pemberian Tuhan dan menerima diri saya apa adanya. Ia pun selalu mendukung langkah-langkah saya. Berkat dirinya, saya sangat bersemangat dan rajin bekerja. Ia selalu mendukung saya dan menyemangati saya. Saya ingin membahagiakannya.

Dengan memulai sebagai seorang petugas pembersih di sebuah restoran, kini saya telah menjadi kepala koki. Dalam hal ini, ketekunan dan inisiatif sangat besar berperan. Saya senang membantu dan tidak pernah malas-malasan, sehingga posisi saya terus naik. Suatu hari, saya berinisiatif menggantikan seorang koki yang jatuh sakit karena usianya yang telah diujung. Saat itu, restoran tempat saya bekerja kekurangan tenaga koki dan saya pun berusaha membantu. Kebetulan saya telah hobi memasak sejak kecil meskipun saya harus berhenti kursus memasak setelah ayah saya meninggal. Ketika pemilik restoran itu membuka cabang untuk restorannya, saya dijadikannya kepala koki untuk restoran baru itu. Prestasi saya pun tidak pernah mengecewakan.

Penghasilan saya tentunya tidak kecil. Bagi saya, itu lebih dari cukup, sehingga saya selalu berusaha menabung. Hidup saya pun layak, bahkan terasa lebih dari cukup. Itulah mengapa saya tidak pernah mengerti apa yang kini selalu dikeluhkan wanita yang sangat saya cintai itu.

Ia tidak pernah lagi senang, bangga, atau puas dengan suaminya. Ia selalu merasa kurang. Merasa miskin. Itulah yang membuatnya terlalu boros belakangan ini. Ia berubah sejak tetangga baru itu membangun rumah di sebelah rumah saya. Tidak, saat itu ia belum berubah. Ia berubah agak lama setelah tetangga baru itu menempati rumah itu.

*

Saya benci dengan wanita di rumah sebelah itu! Munafik sekali dia! Sok baik, sok sederhana, sok akrab! Untuk apa dia berkunjung ke rumah saya? Cari muka!

Saya makin benci dia waktu suami saya lirik-lirik dia! Keterlaluan! Suami saya bilang dia cantik, langsing, sederhana! Saya sudah tua, gembrot, menor! Keterlaluan! Saya benci!

Saya tidak akan tinggal diam! Saya akan gencet dia! Biar dia tau, siapa yang lebih kaya, lebih kuat, lebih berkuasa! Huh!

*

Dia memang cantik. Meskipun sudah lebih berumur dari istri saya, dia tetap segar bugar, tubuhnya masih indah, cantik, penampilannya pun sederhana. Tidak seperti istri saya yang keriput, gemuk karena senang bermalas-malasan, penampilannya pun serba mencolok, menor, selalu mengenakan banyak perhiasan yang besar-besar. Norak!

Oleh sebab itu, saya selalu menyempatkan diri untuk bertamu ke rumahnya yang sederhana. Terkadang saya membawakannya makanan kecil. Terkadang saya juga menjelek-jelekkan suaminya. Siapa tahu ia terhasut dan memutuskan untuk meninggalkan suaminya. Lalu, ia akan segera kuperistri!

*

Saya tidak sanggup lagi menerima tekanan dari dia, wanita yang amat kucintai. Saya ingin dia senang dan bahagia. Saya akan melakukan apapun agar dia senang dan bahagia.

Saya memutuskan untuk membobol rumah tetangga kaya itu. Tetangga yang selalu membuat dia iri.

****

12/10/07

benang wol

Ada kecelakaan lalu lintas di Fatmawati. Tabrakan mobil dengan motor. Pengendara motor tewas di tempat.

Pengirim:

Benang

+6288800008888

Terkirim:

20:50:28

11-10-07

*

Pilihan

Pakai rincian

Nomor telepon

Pilihan

Panggil

*

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.

Tut tut tut…

*

“Duh, kok gak bisa ditelpon sih?!”

*

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.

Tut tut tut…

*

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Klik

“Wei! Kok dari tadi gak diangkat sih?”

“Maaf, Mbak…”

“Lho? Lu siapa? Benang mana?”

“Uhm, maaf…”

“Lo nyolong hapenya yah?! Maling!”

“Nggak! Ini..”

Tut tut tut…

“Lho? Halo? Halo?”

*

(Ringtone)

Klik

“Wol?”

“Benang!”

“Wol…”

“Ke mana ajah sih kamu? Dari tadi aku telpon gak diangkat-angkat! Begitu diangkat, yang ngangkat orang lain! Aku kan khawatir, dapet kabar tentang kecelakaan yang kamu SMS ke aku!”

“Wol…”

“Apa? Kamu di mana sekarang? Baek-baek aja kan?”

“Wol…”

“Iya, kenapa?”

“Wol…”

“Apa sih?”

“Aku cinta kamu, Wol.”

“Aku juga cinta kamu, Benang. Ada apa sih?”

“Terima kasih.”

“Hah?”

“Selamat tinggal.”

“Lho?”

Tut tut tut…

“Wei? Halo? Halooo…?”

*

(Ringtone)

Klik

“Halo?”

“Iya. Ini Wol?”

“Iya. Siapa ini?”

“Saya temennya Benang.”

“Oh, ada apa?”

“Mau ngabarin…”

“Ya?”

“Benang kecelakaan di Fatmawati.”

“…”

“Halo?”

“Ya. Gimana dia?”

“Maaf, dia…”

Tangis.

Tangis.

Tangis.

***

10/10/07

batu bata

Bola menyeret Batu ke tempat sepi. Sebuah ruangan gelap dan pengap. Mungkin gudang.

Bola menundingkan mata sebilah pisau ke wajah Batu. Batu terisak takut.

“Lo mau apa?” tanya Batu lemah.

“Dulu lo ngerusak hubungan gue dengan Balon. Sekarang lo masih mau ganggu Bantal? Perempuan biadab!”

“Gue gak kenal Bantal!”

“Gak ngaku!”

“Sumpah, gue gak kenal Bantal!”

Isak tangis Batu makin menjadi karena ia telah terpojok di sudut ruangan itu dan terjepit oleh Bola. Mata pisau itu pun telah menempel dan sedikit mengoyak kulit pipinya yang empuk.

“Plis, Bola...” Batu terdengar melemah, “gue denger dari orang-orang soal Bantal. Gue tau, dia nangis-nangis dan bilang gue ngelabrak dia. Tapi sumpah, gue bahkan gak kenal dia! Gue belum pernah liat dia! Cuman denger soal dia dari orang-orang!”

“Maksud lo, dia bohong?!”

“Gak tau! Pokoknya gue gak ngapa-ngapain dia!”

“Dulu aja lo begitu!”

“Tapi sekarang beda!”

“Huh!” Bola sinis.

“Oke, dulu gue fall in love with you dan cara gue ngungkapin itu adalah kesalahan besar. Tapi itu dulu! Sekarang beda! Udah gak ada rasa dan gak ada urusan sama lo! Plis…”

“Trus buat apa lo begitu sama Bantal?”

“Gue gak apa-apain dia! Kali ajah dia emang bohong!”

“Lo nuduh dia?!” Bola berang.

“Bisa aja kan? Siapa tau dia gak suka sama gue karena cemburu! Dulu aja, lo gak bisa setia sama Balon! Mungkin sekarang diem-diem lo masih nyimpen hasrat ke gue dan Bantal tau!” Batu tidak lagi menyadari keberadaan pisau yang telah siap mencabiknya karena telah terbawa emosi.

Bola dengan kalap menancapkan pisau itu ke leher Batu. Sekali dan darah telah terciprat ke wajah Bola untuk menyadarkannya dari perbuatannya. Bola mundur selangkah-selangkah dengan langkah tersendat-sendat.

Batu jatuh dengan kaku disertai bunyi-bunyi serak dari tenggorokannya yang telah digenangi darah.

“Batu! Batu!” terdengar panik suara dari luar ruangan itu. Pintu didobrak. Bata masuk tergesa-gesa.

“Batuuuu!” erangnya sekuat tenaga melihat kekasihnya dalam keadaan mengenaskan.

Bata langsung menghampiri Batu. Bata memeluk kekasih sekaratnya. Dicabutnya pisau itu dari leher kekasihnya. Bata menangis dan mengerang semampunya.

Tak lama kemudian, terdengar langkah-langkah berlari dari luar ruangan. Buru-buru Bola membersihkan darah di wajahnya dengan kaos hitam yang dikenakannya. Lalu, Bola menghampiri sepasang kekasih itu dengan sebilah kayu di tangannya. Dipukulinya Bata dan dipisahkannya si Bata dari Batu. Saat itu juga, beberapa pria menghambur masuk ke sana.

“Pembunuh!” teriak Bola sambil menunding Bata yang tubuhnya telah berlumur darah segar. Saat itu, nyawa Batu telah terambang di udara.

Pria-pria itu memvonis Bata sebagai pembunuh kekasihnya sendiri. Bata diseret keluar dari tempat itu dan dikeroyok sampai tak berbentuk dan tak bernyawa.

***

“Bata!”

“Batu!”

“Bata…”

“Jahat betul mereka itu!”

“Biarlah, Bata. Kini, hanya Tuhan yang dapat memisahkan kita.”

damih

Damih senang bersahabat dengan Midah. Dalam persahabatan itu, penampilan fisik tak dipertimbangkan sama sekali dan kepribadian adalah bahan pertimbangan terbesar. Namun, Damih tidak tahan dengan sikap orang-orang lain yang menganggap mereka aneh karena berbeda dari yang lain. Perbedaan yang seharusnya menjadi alat untuk saling melengkapi dan penyatu telah menjadi alat perpecahan dan penindasan, pikir Damih. Sayangnya, Damih menyerah. Ia merubah dirinya menjadi “sama” dengan orang-orang, seperti yang diinginkan orang-orang. Ia meninggalkan Midah yang teguh memegang prinsipnya.

Damih mendapat sambutan yang dikiranya baik dari orang-orang. Awalnya ia begitu tergiur dan hanyut dengan segala kehangatan buatan itu. Tidak ada lagi yang mencemooh dan mengganggunya, orang-orang menyapa ramah kepadanya saat berjumpa, mengajaknya berbincang-bincang, dan bersenda gurau dengannya.

Damih pun senang saat orang-orang mengajaknya berjalan-jalan dan menikmati hari bersama. Damih tidak lagi menekuni buku-buku tebal bersama Midah, tidak lagi menguras otak bersama Midah untuk pekerjaan-pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru-guru sekolah, tidak lagi bergiat dengan kursus-kursus bersama Midah, dan tidak ada lagi Midah dalam hari-harinya. Hari-harinya adalah untuk berhedonisme-ria bersama teman-teman barunya yang sebagian belum ia kenal.

Hanya saja, ada hal yang mengganjal hatinya. Damih sadar tentang Midah. Midah yang kini selalu sendiri. Midah tidak pernah berusaha menghubungi Damih. Midah memang telah maklum bahwa Damih telah terseret arus deras dan melepas pegangannya dari prinsipnya. Damih pun tidak berusaha menghubungi Midah. Damih khawatir bila teman-temannya tahu bahwa ia masih berhubungan dengan Midah, teman-teman barunya itu akan menjauhinya.

Damih memang telah penuh di bawah kendali orang-orang yang telah menjadi teman-teman baginya. Teman-teman baru Damih telah mengatur tampilan Damih, tingkah laku Damih, segala yang dilakukan Damih, dan memaksa Damih untuk mengenakan tameng masal mereka. Damih akhirnya menyadari hal itu.

Damih pun akhirnya sadar bahwa ia tidak lagi produktif. Waktunya tidak lagi digunakannya untuk belajar dan berkarya, tetapi terbuang sia-sia bersama teman-temannya yang juga sia-sia.

Damih sadar, teman-teman itu memang sia-sia. Mereka tidak pernah berbagi dengan Damih. Ia hanya satu diantara sekian untuk menambah jumlah mereka. Bukan untuk saling memberi selayaknya teman. Selayaknya sahabat. Seperti Midah.

Damih kembali kepada Midah. Ia menyesal dan meminta maaf. Dengan susah payah, Midah akhirnya memberi maaf untuk Damih. Mereka kembali bersahabat. Satu sahabat sejati jauh lebih baik dari seribu teman yang hanya kemunafikan belaka, pikir Damih.

06/10/07

surat

Dalam putih kosong kusuratkan
Kepada kekasih setiaku
Yang mencintaiku tanpa balasan serupa dariku

Kusuratkan permintaan maaf, sayang
Sebab anganku telah najis
Menyusup begitu saja segala birahi busuk itu
Tergiur akan rupanya yang menawan
Memang kau tak dapat menandinginya

Namun cintamu yang setia
Ikhlasmu yang melimpah
Sayang, maafkan
Aku membalasmu dengan pikiran yang lacur

Jangan takut, sayang
Takkan kutinggalkan dirimu
Tak sejengkal pun hatiku akan jauh dari hatimu
Hanya, si hati itu mendua
Maafkan, sayang

Biarlah aku menangis, sayang
Jangan turut sedih
Inilah betapa biadab diriku
Terhadap ketulusanmu
Maafkan, sayang

Maaf, sayang
Maaf

sendiri

Aku tak pernah merasa sendiri
Memang tak mungkin seorang manusia bertahan hidup jika hanya sendiri
Namun kalian menganggapku sendiri dan kesepian
Kalian menganggapku tidak wajar

“Kesepian” yang damai telah membuat kalian membenciku,
Kalian menekanku karena “kesendirianku”

Aku bercampur
Aku beraduk
Aku bersatu
Dengan kalian
Nyaris kehilangan diriku dalam absurditas logika kalian

Bersama kalian pun aku tertekan
Oleh kemauan kalian
Oleh keegoisan kalian
Oleh absurditas logika kalian

Mengapakah kalian?
Hal benar dan salah sungguh buram dan samar di mata kalian
Hal baik dan buruk hanya masalah ego

Bagaimana mungkin makhluk-makhluk egosentris seperti kalian membaurkan diri satu sama lain?
Mustahil!

Ya, memang mustahil
Kalian memang tidak berbaur
Tidak bersatu
Tidak bergaul
Tidak berteman
Kalian berpura-pura
Kalian bertameng
Kalian munafik

Kalian takut tersisih
Kalian takut penolakan
Kalian takut ketidaknyamanan
Kalian takut kejujuran terhadap diri sendiri
Kalian mengekang kebebasan diri sendiri dalam kemunafikan masal
Kalian membenciku untuk mempertebal tameng kemunafikan kalian

Kalian manusia-manusia bodoh!
Kalian menganiaya orang lain!
Kalian menyiksa diri sendiri!